Memoirs Yang Gagal Memberikan Memoir

Diangkat dari novel laris Arthur Golden, Memoirs of Geisha menjadi tirai pembuka deretan film-film "ala-Oscar" yang mengawali tahun. Lepas dari segala kontroversi tentang profesi geisha sendiri, apa yang diceritakan Golden ini sejatinya merupakan langkah pemartabatan geisha, pada awal perkembangannya, sebagai bagian tradisi. Mengambil tokoh sentral si empunya memoir ini, Sayuri, Golden menuturkan salah satu pergeseran nilai budaya menjadi nilai komoditi yang menyamaratakan geisha dengan pelacur berbaju kimono.
Alkisah dua bersaudari, Chiyo (Suzuka Ohgo) dan kakaknya Satsu (Samantha Futerman) yang dijual oleh orangtuanya sendiri ke rumah penampungan geisha di kota Hanamachi. Chiyo lebih beruntung karena diminati oleh induk semang geisha kelas tinggi, Nitta (Kaori Momoi), sementara Satsu dijual ke tempat pelacuran. Chiyo kemudian hidup mengabdi di induk semang yang biasa dipanggil dengan "Mother", bersama satu lagi calon geisha, Pumpkin (Zoe Weizenbaum), serta satu top flight geisha saat itu, Hatsumono (Gong Li). Kehadiran Chiyo yang memiliki potensi untuk mejadi geisha membuat iri Hatsumono, yang dengan berbagai cara membuat intrik untuk menjauhkan Chiyo dari dunia geisha. Sampai kemudian pertemuannya dengan seorang ketua partai (Ken Watanabe) membuka cita-cita Chiyo untuk menekuni dunia geisha. Ambisi tersebut didukung oleh Mameha (Michelle Yeoh), geisha senior yang menjadikan Chiyo sebagai anak didiknya. Singkat cerita, Chiyo kemudian menjadi geisha top di Hanamachi dan merubah namanya menjadi Sayuri (Zhang Ziyi). Sayang, ambisi untuk dekat dengan sang ketua partai tidak semudah jalan Sayuri menapaki jenjang level geisha.
Hal yang paling menjadi kontroversi dari film ini adalah casting. Tiga tokoh yang mempunyai role sentral sebagai geisha tidak satupun jatuh kepada aktris asli Jepang. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah berarti dalam role-filmnya. Justru penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa dialoglah yang sangat menganggu. Pada awal film, sempat terdengar percakapan dalam bahasa Jepang, kemudian beralih ke dalam bahasa Inggris yang terbata-bata (khas Asian-Eng) dan diselingi bahasa-bahasa Jepang macam "haik", "danna" atau "arigato". Rancu antara itu disebabkan karena geisha dan calon geisha tersebut memang berbicara dalam bahasa Inggris, atau salah satu bentuk trans-lingua mengingat ini adalah film untuk negara berbahasa Inggris. Padahal, dialog dalam bahasa Jepang (seperti halnya Last Samurai) juga tidak begitu bermasalah rasanya.
Aspek selanjutnya adalah kekurangsabaran sutradara Rob Marshall untuk memoles satu alur penceritaan yang bisa memperjelas posisi karakter-karakternya. Hampir tidak ada satu peran yang menonjol dalam karakter-karakter yang ditampilkan karena tegasnya nilai yang ingin disampaikan. Karakter Hatsumono sangat jelas berwarna hitam, dan Sayuri sebagai lawannya. Yang patut dicermati justru kehadiran karakter induk semang (Kaori Momoi) yang membawa jalan cerita. Perubahan karakternya menentukan tone cerita pasang surut nasib Chiyo sampai menjadi Sayuri (bahkan sampai akhir film). Tetapi kekurangrapian jalinan cerita membuat hubungan-hubungan antar karakter itu menjadi kabur, padahal pesan yang akan disampaikan justru berdasarkan pada perubahan role-playing dari top flight geisha: Hatsumono ke Sayuri. Sebagai film drama, hal ini lumayan fatal untuk membingungkan pemirsa film yang tidak familiar dengan novelnya (suatu pilihan klasik dari semua film adaptasi novel). Rob Marshall malah menekankan kepada penyajian gambar-gambar indah negeri sakura yang lebih cocok untuk setting kolosal (semacam upaya yang dibuat Edward Zwick dalam Last Samurai). Secara keseluruhan, film ini gagal menancapkan memoirs khusus bagi pemirsanya, dan tidak berhasil mengulang apa yang diraih Arthur Golden melalui novel.
Tetapi, apakah film ini memang hanya dibuat untuk tujuan visualisasi? Sayang sekali jika demikian adanya...
1 Comments:
Yg paling mengganggu gw di film ini adalah bahasa inggris-nya... gw jd ga dpt soulnya. Jd datar aja...dan spt yg udah gw bilang kmrn hill, dalam film kayak gini, unsur pesan yang disampein emang dpt porsi besar, dan menurut gw pesannya (pengen ngebenerin stigma geisha) nyampe. Cuma dramatisasinya kering banget...
Setting nya bagus menurut gw, dan detail,.. tp no wonder lah, sutradaranya rob marshall, produsernya spielberg... mereka punya teknologinya, dan mereka punya duitnya....
Lu bayangin aja, film ini kan sbnrnya cerita ttg si chiyo, tp transformasi si chiyo sendiri dari waktu dia di jual sampe jd geisha nomor satu ga keliatan...dan gampang sekali sepertinya proses si chiyo ini jd geisha nomor satu, ga ada halangan berarti... ini kan berkontradiksi sama apa yang tadinya gw pikir mau disampaikan yaitu kalo profesi geisha itu ga gampangan, dan ga gampang jg untuk jd geisha...
Memoirs of geisha krn itu, jd cuma numpang lewat aja...
Post a Comment
<< Home