The Tiger and the Snow
After a while, gw kembali ke bioskop recently. Bukan untuk "menekuni" kembali dunia apresiasi, tapi lebih ke faktor rendezvous aja bareng pacar. Ada empat pilihan film, yang lantas kita coret menjadi dua pilihan: "The Devil Wears Prada" dan "The Tiger and the Snow". Film pertama adalah film lite, yang memang "habitatnya" penonton rendezvous. Sementara film kedua adalah film Eropa yang memang hampir selalu berujung pada dua kesan: "bagus" atau "boring" (tidak ada yang "jelek", menurut gw, karena film Eropa selalu terkonsep rapi). Pilihan jatuh ke film kedua, meski konsekuensinya bisa "garing" juga kalo ternyata datar dan boring.
Surprisingly, "The Tiger and the Snow" (tTatS) adalah film worthed-apresiasi. Film itu adalah film karya Roberto Benigni yang mencoba mengulang jejak sukses komedi-satir "Life is Beautiful" (LiB). Lengkap dengan Nicoletta Braschi yang juga jadi lawan mainnya dalam film LiB. Jika di LiB yang diangkat sebagai setting adalah Perang Dunia II, maka kali ini Perang Irak jadi setting, dimana Atillo de Giovanni (Benigni) berjuang menyelamatkan Vittoria (Braschi) yang tengah sekarat di sebuah rumah sakit kota Baghdad. Atillo dibantu oleh Fuad (Jean Reno), rekan sesama sastrawan yang tinggal di Baghdad. Ragam komedi dari tingkah polah "slapsticky" Benigni menjadi daya tarik bagi penggemar komedi-gesture ala Italia. Tetapi film ini tidak terbatas pada aspek tersebut.
Salah satu kekuatan utama film ini justru terletak pada script yang dibangun dari dialog (dan monolog) Beningni. Dialog-dialog ber-rima (dalam bahasa Italia, sayangnya) menghiasi awal film. Bagi audiens berbahasa Italia, tentu akan sangat indah...sayangnya kita sangat mengandalkan subtitle sehingga sedikit berkurang. Bagaimanapun, scene favorit gw tetep ada di salah satu dialog antara Fuad dan Attillo dengan latar langit malam Baghdad. Latar langit malam yang indah (disebut oleh Fuad sebagai "Real Arabian Nights" - FYI, "Arabian Nights" beken dengan istilah Kisah 1001 Malam di Indonesia), sementara di kaki langit ribuan artileri dan kilat cahaya mesiu menghujani langit indah tersebut. Momen tersebut disebutkan oleh Fuad sebagai upaya manusia menjatuhkan malaikat dari langit (touchee sentence, scene and moment)! Dialog pada scene itulah, IMHO, merupakan klimaks satirikal film, karena menciptakan ruang kontemplatif bagi perspektif film sebagai film satir. Setelah itu perspektif kemudian kembali bergeser ke upaya Attillo menyelamatkan Vittoria.
Film tidak lantas selesai di situ, tetapi ada ricochet (benturan) jalan cerita yang dimasukkan di akhir cerita. Hal itu akan membuat penonton film me-reset kembali jalan cerita dari awal untuk memahami alur keseluruhan. Brillian! Karena energi fokus memang akan bercabang di tengah film. Cara Benigni memasukkan ricochet tersebut adalah kunci dimana film ini tidak menjadi film klise nan datar ala "Pinocchio" yang dibuatnya setelah LiB, dengan hanya mengandalkan Italian-gesture-nya. This is something else...
Quite memorable movie, yet monumental buat gw (for personal reason...heuheu). Yang jelas, memang batal jadi sekedar rendezvous movie buat kita berdua...malah menghasilkan debat seru mengenai "actual" plot yang bias akibat ricochet itu. Beberapa review dari kritikus menyebutkan: ricochet itu justru menghidupkan dialog antara pemirsa dan film Benigni tersebut yang akan membuatnya everlasting. Somehow gw inget film Guy Ritchie "Revolver"...tanpa opsi penilaian bahwa "The Tiger and the Snow" ini merupakan film "jelek" tentunya. Worth-watch, hanya aja gw rada pesimis juga bakal survive ke regular-screening, considering waktu midnite kemaren cuman ditonton lebih kurang 8 orang. Siap-siap hunting DVD-nya deh...hehe.
Rated dengan nilai 9 dari kemungkinan 10 di situs review european-films.net.