The Constant Gardener
Sekitar tiga tahun yang lalu, saya pernah membuat semacam "anjuran" bagi para sineas Indonesia untuk memoderasikan nilai idealisme dan populisme. Anjuran tersebut berkaca pada perbandingan antara film "Daun di Atas Bantal" karya sutradara Garin Nugroho dan film "Cidade de Deus" (aka City of God) karya sutradara Fernando Meirelles. Kedua film tersebut mengaca tema yang hampir serupa dan dengan gambar yang sama-sama menjadi titik berat pencapaian. Perbedaannya, "Daun di Atas Bantal" dianggap banyak orang sebagai film "langitan" karena tingkat kesulitan mencerna makna dan alur film. Berbeda dengan "Cidade de Deus", yang bisa mengkomunikasikan alur film secara baik, bahkan untuk pentonton awam sekalipun. Hasilnya, muatan makna yang akan disampaikan melalui film (sebagai tujuan utama, yang mengangkat semi-dokumentarian tentang anak-anak jalanan) bisa dengan mudah tercerna.
Pendekatan Dokumentarian
Tahun 2005, sutradara "Cidade de Deus" - Fernando Meirelles - kembali menghasilkan film yang berangkat dari kekuatan semi-dokumentarian tentang diskriminasi dan eksploitasi orang-orang Afrika untuk kepentingan bisnis kapitalisme. Pada JIFFest tahun 2003 lalu, saya menonton sebuah film dokumentari tentang bahaya terselubung dari bahan polikarbonat (PVC) yang bisa menghasilkan bermacam-macam penyakit parah. Muatan dalam film tersebut berupa jurnalisme investigatif, yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter. Contoh lain misalnya film-film Michael Moore, entah itu "Bowling for Columbine" atau "Fahrenheit 9/11" yang maha-terkenal itu. Belum lama ini kita disuguhi "Super Size Me", yang mengambil angle bahaya terabaikan dari produksi massal fastfood. Beberapa film dokumenter kini tengah berkembang menjadi film yang enak dinikmati, mengikuti alur investigatif-nya. Membuat film dokumenter juga memperhatikan betul alur yang akan disampaikan kepada pemirsanya.
Kembali ke Meirelles, di akhir tahun 2005 ini filmnya yang berjudul "The Constant Gardener" dirilis. Film tersebut bercerita tentang seorang diplomat Inggris bernama Justin Quayle (Ralph Fiennes) yang tengah menyelidiki alasan dibalik kematian istrinya, Tessa Quayle (Rachel Weisz). Penyelidikan Justin mengarah kepada fakta tentang konspirasi global yang mengeksploitasi rakyat Afrika sebagai laboratorium hidup dari ujicoba obat-obatan. Di sinilah letak kekuatan film yang mecoba menceritakan dengan gaya dokumentarian sejati, dengan memanfaatkan alur untuk bercerita. Dengan plot yang melompat-lompat, kita justru dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan investigatif seorang Justin Quayle, mulai dari perkenalan dengan Tessa sampai fakta-fakta di balik kematian istrinya. Alurlah yang memegang kunci mengapa film dengan muatan "berat" seperti ini bisa dengan mudah dicerna, dibalik gambar-gambar indah ala Meirelles yang kali sukses memvisualisasikan lingkungan Afrika yang sepadan dengan kumuhnya Rio de Janeiro (bahkan lebih parah!). Di sini berbagai pertanyaan tentang kelayakan dan kemanusiaan muncul menjadi latar dari penyelidikan yang dilakukan Justin.
Well-Cooked Movie
Satu pencapaian brilian dari film ini adalah kemampuan sutradara (dan krunya) untuk memoderasikan bahasa gambar, alur yang mudah dicerna dan juga tema yang akan disampaikan (sehingga tidak terjebak dalam bahasa dokumnetarian). Ibarat memasak, tema dalah bahan baku (ingredients), alur itu adalah teknik memasak dan gambar adalah aspek dekoratif. Masakan Meirelles dalam "The Constant Gardener" adalah masakan ala Perancis yang memenuhi kriteria boga dalam diri bahan berkualitas, dimasak dengan baik dan disajikan dengan baik pula. Tanpa harus kehilangan nilai visual ketika memvisualisasikan kampung-kampung kumuh di sudut Kenya, Meirelles memberikan kepada kita keindahan tersendiri dari potret Afrika yang bukan berupa Jerapah atau Cheetah (bandingkan misalnya dengan eksploitasi model Edward Zwick - Last Samurai, atau Rob Marshall - Memoirs of a Geisha). Kemudian, tanpa harus mengalahkan tema, alur thriller yang melandasi film justru memberikan aroma investigasi untuk menjabarkan dengan gamblang permasalahan yang dicari serta hipotesa-hipotesa yang dirangkai, seperti halnya Michael Moore merangkai kejadian-kejadian menjadi hipotesa konsiprasi 9/11. Dan juga yang paling penting, sebuah film ditujukan untuk menyampaikan makna. Sekali lagi, film ini berhasil menyampaikan maknanya dalam bahasa script (melalui dialog dan monolog, serta ekspresi), alur dan juga gambar. Sebuah kekuatan kombinasi untuk menghasilkan tontonan berkualitas, sekaligus memoderasikan antara kekuatan tontonan dokumentarian yang analitis, dengan film fiksi yang menghibur.
Silahkan nikmati sendiri sajian satir dari Fernando Meirelles.
9/10 - Sulit mencari cacat dari film ini, terutama jika Anda bukan seorang bule berkulit putih!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home