V for Vendetta

Sekitar 7 tahun berselang sejak rilis film fenomenal Fight Club memberi saya banyak perspektif mengenai kriteria film yang bagus, secara pesan yang ingin disampaikan dan mampu menjadi film entertaining di saat yang bersamaan. Paradigma-paradigma pop-science, kapitalisme, lifestyle dan hiperrealitas yang termuat dalam novel Chuck Palahniuk berhasil divisualisasikan dengan baik oleh sineas David Fincher dan kru-nya (dalam unsur sinematografi dan penaskahan), termasuk penampilan brilian dari Edward Norton dan Brad Pitt sebagai Tyler Durden yang kini menjelma sebagai ikon hiperrealitas di internet. Dan hampir sejak rilis film tersebut, beragam film lain mondar-mandir mengisi katalog film saya tanpa ada satupun yang masuk ke dalam kategori film "fantastis" secara keseluruhan layaknya Fight Club.
Dan di awal tahun 2006 ini Larry dan Andy Wachowski yang sukses menelurkan trilogi Matrix mengeluarkan film bertajuk "V for Vendetta". Meski tidak mereka direct secara langsung, tetapi melalui sineas James McTeigue. Diangkat dari komik (graphic novel) karya Alan Moore, film tersebut bercerita banyak tentang manifestasi politik dan sosiologi. V (Hugo Weaving) adalah samaran misterius dari seorang anarkis yang menjadi teror bagi pemerintahan fasis-kanan Inggris di masa depan. Dalam satu kesempatan, V bertemu dengan Evey Hammond (Natalie Portman), anak dari aktivis yang dibunuh oleh pemerintah. Dari situ muncul dialog-dialog pertentangan tentang ideologi V, yang sebelumnya hampir berkembang menjadi "fasis" tersendiri karena tidak pernah ada counter. V merencanakan sebuah plot besar untuk mengulangi skenario dari Guy Fawke di abad ke-15 (gunpowder plot), yaitu meledakkan gedung parlemen Inggris nan legendaris itu. Upaya V ini harus dibenturkan dengan investigasi inspektur Finch (Stephen Rea) yang makin menyibak misteri V, dan juga tindak represi pemerintah fasis melalui tangan kanan-nya Mr. Creedy.
Film berdurasi panjang ini sangat baik membawakan alur sehingga tidak membosankan, karena selalu ada misteri yang dinantikan (meski dengan laur yang naik turun). Wachowski tampaknya tidak mau membuang hal-hal yang esensial dari cerita aslinya, tetapi tidak juga memberikan penekanan yang melodramatis. Banyak dialog-dialog panjang yang esensial, seperti halnya permainan "quote by quote" pada film Fight Club (favorit saya: introduksi V kepada Evey, quote yang disampaikan V melalui stasiun teevisi dan juga dialog-dialog di Shadow Gallery). Kali ini banyak menyoroti tentang "controlling fear", pemerintahan yang korup, manipulasi, sistem sosial yang tidak adil dan sebagainya. Aktual memang, meski naskah aslinya ditulis di tahun 80-an, tapi fenomena Bush-Blair syndrome tampaknya menjadi latar yang bagus pula untuk berapresiasi di era sekarang. Selain itu, durasi sepanjang itu juga terbayar dengan ending sempurna, layaknya adegan Tyler Durden mengamati robohnya pilar-pilar kapitalisme dan dunia modern (dalam wujud bangunan tinggi) dalam Fight Club. Sangat emosional!
Bagi saya pribadi, film ini memnag banyak mengingatkan kepada Fight Club. Bukan secara tema, tapi tentang kriteria film yang berkualitas, tanpa kehilangan sisi entertaining-nya. Wachowskis (sebagai penulis skenario) memang sudah mengantungi naskah asli yang bagus. Ada opsi memperpendek film dengan mengangkat sisi "aksi"-nya saja, dengan reputasinya membuat adegan laga yang fenomenal di Matrix. Tetapi kandungan "pesan" dari naskah tersebut juga esensial untk disampaikan, sehingga apa yang kita cerna dari (dialog-dialog) film itu seharusnya menyisakan sedikit perenungan tentang "kebebasan". Jelang "viking funeral" yang mengiringi ending film, makna dari film ini seolah digarisbawahi sebagai rangkuman 3 jam durasi film. Seperti halnya yang dikutip dari pernyataan Alexander Berkman tentang anarkis:
"Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan."
Film ini adalah film fenomenal yang akan menjadi cult berikut seperti halnya Fight Club. Saya bukan berasal dari generasi ketika graphic novel Alan Moore pertama kali terbit pada dekade 80-an, tetapi rasanya film ini akan menggantikan dengan sempurna mengenai inspirasi kebebasan dan perlawanan. Wachowski sudah hampir berhasil ketika banyak menggunakan filsafat-filsafat eksistensial untuk mengisi porsi pada trilogi The Matrix (terutama Matrix Reloaded) dan terpaksa menunda-nya di partai pungkasannya (Matrix Revolution) karena banyaknya konflik yang musti diselesaikan dalam satu alur film. "V for Vendetta" adalah vendetta bagi Wachowski bersaudara untuk menuntaskan pesan yang belum tersampaikan dari trilogi Matrix. Lawan!!!
Salut buat Wachowski brothers dan juga James McTeigue!
Rate: 8.5 from 10, and hang into my second place best ever movie!
2 Comments:
We need V buat ngebatalin UU pembatasan pendirian gereja buatan DPR .. its a conspiracy to wipe out Christian minority in Indonesia. Ayo lawan!
Semangatnya hebt tapi ideologi byang dibawa tidak ideal.
Post a Comment
<< Home