Banner

Tuesday, September 12, 2006

The Tiger and the Snow

For some reason, gw ngerasa udah "degradasi" tingkat apresiasi sama film-film yang dikategorikan "bermutu". Akhir-akhir ini, bahkan film pop-candy model "Pirates of the Carribean" udah bisa masuk ke kategori "sangat memuaskan". Setahun-dua tahun lalu, jangan harap film flawful seperti itu masuk ke kategori grade bagus buat gw. Itu adalah salah satu faktor juga kenapa gw cenderung "males" lagi membuka harapan ke bioskop dan mendapati film-film berkelas layaknya film-film legendaris. Mentok, beberapa kriteria film bagus justru didapat dari pembajak-pembajak DVD yang mengkopi beberapa film yang notabene ngga sukses secara komersial, tapi terbukti ampuh (secara kualitas). "The Edukators" contohnya, film produksi dari Jerman yang masuk di kriteria "bagus" (dalam taraf apresiasi, bukan sisi entertaining-nya).

After a while, gw kembali ke bioskop recently. Bukan untuk "menekuni" kembali dunia apresiasi, tapi lebih ke faktor rendezvous aja bareng pacar. Ada empat pilihan film, yang lantas kita coret menjadi dua pilihan: "The Devil Wears Prada" dan "The Tiger and the Snow". Film pertama adalah film lite, yang memang "habitatnya" penonton rendezvous. Sementara film kedua adalah film Eropa yang memang hampir selalu berujung pada dua kesan: "bagus" atau "boring" (tidak ada yang "jelek", menurut gw, karena film Eropa selalu terkonsep rapi). Pilihan jatuh ke film kedua, meski konsekuensinya bisa "garing" juga kalo ternyata datar dan boring.
Surprisingly, "The Tiger and the Snow" (tTatS) adalah film worthed-apresiasi. Film itu adalah film karya Roberto Benigni yang mencoba mengulang jejak sukses komedi-satir "Life is Beautiful" (LiB). Lengkap dengan Nicoletta Braschi yang juga jadi lawan mainnya dalam film LiB. Jika di LiB yang diangkat sebagai setting adalah Perang Dunia II, maka kali ini Perang Irak jadi setting, dimana Atillo de Giovanni (Benigni) berjuang menyelamatkan Vittoria (Braschi) yang tengah sekarat di sebuah rumah sakit kota Baghdad. Atillo dibantu oleh Fuad (Jean Reno), rekan sesama sastrawan yang tinggal di Baghdad. Ragam komedi dari tingkah polah "slapsticky" Benigni menjadi daya tarik bagi penggemar komedi-gesture ala Italia. Tetapi film ini tidak terbatas pada aspek tersebut.

Salah satu kekuatan utama film ini justru terletak pada script yang dibangun dari dialog (dan monolog) Beningni. Dialog-dialog ber-rima (dalam bahasa Italia, sayangnya) menghiasi awal film. Bagi audiens berbahasa Italia, tentu akan sangat indah...sayangnya kita sangat mengandalkan subtitle sehingga sedikit berkurang. Bagaimanapun, scene favorit gw tetep ada di salah satu dialog antara Fuad dan Attillo dengan latar langit malam Baghdad. Latar langit malam yang indah (disebut oleh Fuad sebagai "Real Arabian Nights" - FYI, "Arabian Nights" beken dengan istilah Kisah 1001 Malam di Indonesia), sementara di kaki langit ribuan artileri dan kilat cahaya mesiu menghujani langit indah tersebut. Momen tersebut disebutkan oleh Fuad sebagai upaya manusia menjatuhkan malaikat dari langit (touchee sentence, scene and moment)! Dialog pada scene itulah, IMHO, merupakan klimaks satirikal film, karena menciptakan ruang kontemplatif bagi perspektif film sebagai film satir. Setelah itu perspektif kemudian kembali bergeser ke upaya Attillo menyelamatkan Vittoria.

Film tidak lantas selesai di situ, tetapi ada ricochet (benturan) jalan cerita yang dimasukkan di akhir cerita. Hal itu akan membuat penonton film me-reset kembali jalan cerita dari awal untuk memahami alur keseluruhan. Brillian! Karena energi fokus memang akan bercabang di tengah film. Cara Benigni memasukkan ricochet tersebut adalah kunci dimana film ini tidak menjadi film klise nan datar ala "Pinocchio" yang dibuatnya setelah LiB, dengan hanya mengandalkan Italian-gesture-nya. This is something else...

Quite memorable movie, yet monumental buat gw (for personal reason...heuheu). Yang jelas, memang batal jadi sekedar rendezvous movie buat kita berdua...malah menghasilkan debat seru mengenai "actual" plot yang bias akibat ricochet itu. Beberapa review dari kritikus menyebutkan: ricochet itu justru menghidupkan dialog antara pemirsa dan film Benigni tersebut yang akan membuatnya everlasting. Somehow gw inget film Guy Ritchie "Revolver"...tanpa opsi penilaian bahwa "The Tiger and the Snow" ini merupakan film "jelek" tentunya. Worth-watch, hanya aja gw rada pesimis juga bakal survive ke regular-screening, considering waktu midnite kemaren cuman ditonton lebih kurang 8 orang. Siap-siap hunting DVD-nya deh...hehe.

Rated dengan nilai 9 dari kemungkinan 10 di situs review european-films.net.

posted by Helman Taofani at 6:29 PM 2 comments

Tuesday, April 25, 2006

Much More Movies for April 2006

Setelah sekian lama hiatus, gw bakal mulai dengan review beberapa film sekaligus selama periode April 2006 (kecuali "V for Vendetta"). Dimulai dari film lokal, berjudul "Berbagi Suami", sampai ke film animasi Jepang, "Patlabor 3: WXIII". Karena maraton, jadi cukup short comment aja, tentang film-filmnya, dan semoga bisa jadi guide bagi yang belom menontonnya.

Berbagi Suami
3 kisah tentang poligami yang mengambil sudut pandang perempuan. Yang pertama, seorang istri (Jajang C. Noer) yang tidak tahu jika suaminya (El Manik), notabene merupakan figur tokoh agama terkenal, memiliki banyak istri kedua...ketiga...dan seterusnya. "Ketidak-tahuan" dan sikap menghadapi kenyataan adalah perspektif dari kisah pertama ini, disamping anaknya (Winky Wiryawan) yang mulai dewasa dalam menghadapi kenyataan ayahnya memiliki daun-daun muda yang bahkan sebaya. Satirikal semacam ini ditanggapi dengan porsi kedewasaan yang natural dari sang anak dan ibunya (istri pertama) untuk terus mendukung laki-laki yang telah "mengkhianati" mereka di kala masa sulit (digambarkan dengan "stroke").
Kisah kedua bercerita tentang seorang gadis lugu dari desa (Shanty), yang hidup bersama seorang laki-laki beristri dua. Meski demikian, ada kebahagiaan kecil untuk berada di tengah-tengah "keluarga besar" tersebut. Hingga pada suatu saat, si laki-laki yang berprofesi sebagai sopir memutuskan untuk menikahi sekalian si gadis lugu. Permasalahannya, si gadis lugu sudah memiliki "permainan" lain untuk membahagiakan dirinya. Di sini, perspektif diambil dari sudut pandang ketidak-tahuan dan kecuekan menghadapi poligami. Berbeda dengan yang pertama, cerita kedua seolah menggambarkan pandangan korban poligami di tingkat awam yang sering kali mereka kurang mengetahui isu-isu seperti feminisme dan sebagainya.
Cerita ketiga adalah seorang gadis muda etnis TiongHoa yang menjadi "gundik" dari majikannya (Tio Pakusadewo), seorang pengusaha warung bebek goreng sukses. Anugerah yang diperoleh si gads muda adalah kompensasi terangkatnya derajat dirinya untuk pindah ke apartemen mewah dan mendapatkan segala yang dia inginkan. "Status" sebagai istri utama-pun sempat mampir ketika istri si majikan (Ira Maya Sopha) tengah ke Amerika untuk mengunjungi anak-anaknya yang bersekolah di sana. Kisah ketiga ini merupakan perspektif dari orang yang "memanfaatkan" poligami. Kurangnya rasa cinta terhadap pasangannya, tapi lebih ke porsi rasa cinta terhadap status dan materialisme.
Tiga buah kisah "berat" yang disajikan dalam porsi ringan. Tetapi entah kenapa justru esensinya meloncat keluar dari screen karena banyaknya "attachment" yang ditampilkan. Mulai dari hobi aneh berkuda, korban tsunami di Aceh, cameo-cameo yang berseliweran, hiperbola "keluarga besar", dan sebagainya. Hal itu cukup mengganggu penghayatan untuk mendalami perspektif korban-korban poligami, tetapi cukup berdamai dengan banyak khayalak guna menikmati sajian komedi satir sutradara Nia Di Nata ini. Jadi, secara apresiasi film Berbagi Suami ini sangat so-so. Tetapi sebagai sebuah hiburan, angkat jempol untuk film keluaran produsen film nomer satu di Indonesia, Kalyana Shira Film ("Arisan!" dan "Jani Joni").

Rated: 6.5/10

Underworld Evolution
Sekuel dari film pertama yang berjudul "Underworld". Masih mengetengahkan kisah tentang Selene (Kate Beckinsale), ras vampir dan kekasihnya Michael (Scott Speedman), hybrid Lycan dan Vampir yang sangat kuat. Di akhir film sebelumnya diceritakan tentang Viktor (Bill Nighy), pemimpin ras Vampir yang mengaku sebagai "darah murni" vampir. Sementara darah murni sebenarnya tengah berusaha mewujudkan mimpinya. Marcus Corvinus (Tony Curran), vampir keturunan immortal pertama, Alexander Corvinus (Derek Jacobi) membebaskan diri dan memulai misi untuk menemukan suadaranya, William Corvinus, lycan brutal. Dan inilah tugas heroine utama, Selene untuk menghentikan ambisi Marcus.
Bagi yang suka dengan saga kaum vampir dan lycan di seri perdananya, Underworld Evolution menawarkan kompleksitas cerita yang merangkai setting dua serial Len Wiseman tersebut. Tetapi benar-benar ngga ada sesuatu yang baru sebagai langkah progresif dari sebuah sekuel. Hasilnya, jika digabungkan dengan seri pertamanya akan menjadi film panjang yang membosankan. Sementara menonton film keduanya saja, akan memberikan banyak pertanyaan akibat konektivitas dengan seri pertamanya yang terlalu besar. So, saran terbaik bagi yang pernah menontonnya, pikir dua kali untuk menikmati di bioskop karena bisa membuat Anda tertidur. Dan bagi yang belum pernah menonton seri pertama, pikir ulang atau Anda tidak bisa tidur karena kebingungan.

Rated: 6/10

Patlabor the Movie: WXIII
Versi OVA dari serial kartun Jepang, Patlabor yang ber-setting di masa depan. Di sini, batalyon khusus anti-robot (Noa dkk) hanya menjadi keping pelengkap dari sebuah misteri besar yang hendak dipecahkan detektif Hatta. Teror membayangi lepas pantai teluk Tokyo menyusul munculnya makhluk misterius yang menenggelamkan kapal, membunuh pekerja konstruksi reklamasi dan meneror sebuah diskotik di tepi pantai. Penyelidikan mengirim ke petunjuk keterlibatan pabrik kimia dalam mewujudkan "bio-weapon" yang dikembangkan dari genetik tumor. Detektif Hatta memulai dari perkenalan dengan seorang wanita misterius yang membawa ke saga akhir, antara monster dengan batalyon khusus anti robot, Alphonse milik Noa dan Ingram Oda.
Bagi yang besar di era 90-an, Patlabor tentu tidak terlalu asing. Noa, Shinohara, dkk menjadi teman setia di kala pagi, dan menyaksikan ketangguhan Alphonse, Ingram robot milik Noa membasmi kejahatan robot lain adalah sebuah epik menarik dari setting futuristis. Di samping itu, jalinan drama di dalamnya juga tidak kalah dengan kisah drama kepolisian seperti NYPD Blue sekalipun. OVA-nya pernah dirilis dua kali, yang pertama dan kedua di era 90-an, dan yang ketiga ini adalah produksi 2003.

Rated: 7.5/10

South Park: Bigger, Longer, Uncut
Sebuah film dari Kanada yang menampilkan dua komedian slapstick, Terrance and Phillips menuai protes besar dari orang tua di kota kecil South Park. Duo yang dgemari banyak anak kecil tersebut banyak berpengaruh buruk terhadap attitude Stan, Kyle, Eric, Kenny dan kawan-kawan. Bahasa-bahasa kotor dari film tersebut segera tertanam dalam benak lugu anak-anak dan menimbulkan keresahan orang tua. Peristiwa tersebut memicu ketegangan antara Amerika dan Kanada yang mengantarkan mereka ke Perang Dunia III. Di balik itu, Setan dan Saddam Hussein di neraka tengah menunggu peluang untuk menguasai bumi.
Don't take it that seriously! Tentu saja hal itu cuman bisa-bisanya Trey Parker dan Matt Stone dalam komedi sarkastik, South Park. Versi filmnya dirilis tahun 1998 dan mendapat apresiasi yang tinggi. Apalagi untuk versi film, tidak ada sensor untuk foul language, bahkan dieksploitasi dalam lagu utama yang dibawakan Terrance and Philips: "Uncle Fucker". Juga beberapa komedi sarkas tentang agama, rasisme dan politik luar negeri Amerika. Bagi penggemar South Park, film ini adalah wajib-koleksi.

Rated: 8.5/10

posted by Helman Taofani at 10:36 AM 0 comments

Monday, March 27, 2006

V for Vendetta


Sekitar 7 tahun berselang sejak rilis film fenomenal Fight Club memberi saya banyak perspektif mengenai kriteria film yang bagus, secara pesan yang ingin disampaikan dan mampu menjadi film entertaining di saat yang bersamaan. Paradigma-paradigma pop-science, kapitalisme, lifestyle dan hiperrealitas yang termuat dalam novel Chuck Palahniuk berhasil divisualisasikan dengan baik oleh sineas David Fincher dan kru-nya (dalam unsur sinematografi dan penaskahan), termasuk penampilan brilian dari Edward Norton dan Brad Pitt sebagai Tyler Durden yang kini menjelma sebagai ikon hiperrealitas di internet. Dan hampir sejak rilis film tersebut, beragam film lain mondar-mandir mengisi katalog film saya tanpa ada satupun yang masuk ke dalam kategori film "fantastis" secara keseluruhan layaknya Fight Club.

Dan di awal tahun 2006 ini Larry dan Andy Wachowski yang sukses menelurkan trilogi Matrix mengeluarkan film bertajuk "V for Vendetta". Meski tidak mereka direct secara langsung, tetapi melalui sineas James McTeigue. Diangkat dari komik (graphic novel) karya Alan Moore, film tersebut bercerita banyak tentang manifestasi politik dan sosiologi. V (Hugo Weaving) adalah samaran misterius dari seorang anarkis yang menjadi teror bagi pemerintahan fasis-kanan Inggris di masa depan. Dalam satu kesempatan, V bertemu dengan Evey Hammond (Natalie Portman), anak dari aktivis yang dibunuh oleh pemerintah. Dari situ muncul dialog-dialog pertentangan tentang ideologi V, yang sebelumnya hampir berkembang menjadi "fasis" tersendiri karena tidak pernah ada counter. V merencanakan sebuah plot besar untuk mengulangi skenario dari Guy Fawke di abad ke-15 (gunpowder plot), yaitu meledakkan gedung parlemen Inggris nan legendaris itu. Upaya V ini harus dibenturkan dengan investigasi inspektur Finch (Stephen Rea) yang makin menyibak misteri V, dan juga tindak represi pemerintah fasis melalui tangan kanan-nya Mr. Creedy.

Film berdurasi panjang ini sangat baik membawakan alur sehingga tidak membosankan, karena selalu ada misteri yang dinantikan (meski dengan laur yang naik turun). Wachowski tampaknya tidak mau membuang hal-hal yang esensial dari cerita aslinya, tetapi tidak juga memberikan penekanan yang melodramatis. Banyak dialog-dialog panjang yang esensial, seperti halnya permainan "quote by quote" pada film Fight Club (favorit saya: introduksi V kepada Evey, quote yang disampaikan V melalui stasiun teevisi dan juga dialog-dialog di Shadow Gallery). Kali ini banyak menyoroti tentang "controlling fear", pemerintahan yang korup, manipulasi, sistem sosial yang tidak adil dan sebagainya. Aktual memang, meski naskah aslinya ditulis di tahun 80-an, tapi fenomena Bush-Blair syndrome tampaknya menjadi latar yang bagus pula untuk berapresiasi di era sekarang. Selain itu, durasi sepanjang itu juga terbayar dengan ending sempurna, layaknya adegan Tyler Durden mengamati robohnya pilar-pilar kapitalisme dan dunia modern (dalam wujud bangunan tinggi) dalam Fight Club. Sangat emosional!

Bagi saya pribadi, film ini memnag banyak mengingatkan kepada Fight Club. Bukan secara tema, tapi tentang kriteria film yang berkualitas, tanpa kehilangan sisi entertaining-nya. Wachowskis (sebagai penulis skenario) memang sudah mengantungi naskah asli yang bagus. Ada opsi memperpendek film dengan mengangkat sisi "aksi"-nya saja, dengan reputasinya membuat adegan laga yang fenomenal di Matrix. Tetapi kandungan "pesan" dari naskah tersebut juga esensial untk disampaikan, sehingga apa yang kita cerna dari (dialog-dialog) film itu seharusnya menyisakan sedikit perenungan tentang "kebebasan". Jelang "viking funeral" yang mengiringi ending film, makna dari film ini seolah digarisbawahi sebagai rangkuman 3 jam durasi film. Seperti halnya yang dikutip dari pernyataan Alexander Berkman tentang anarkis:

"Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan."

Film ini adalah film fenomenal yang akan menjadi cult berikut seperti halnya Fight Club. Saya bukan berasal dari generasi ketika graphic novel Alan Moore pertama kali terbit pada dekade 80-an, tetapi rasanya film ini akan menggantikan dengan sempurna mengenai inspirasi kebebasan dan perlawanan. Wachowski sudah hampir berhasil ketika banyak menggunakan filsafat-filsafat eksistensial untuk mengisi porsi pada trilogi The Matrix (terutama Matrix Reloaded) dan terpaksa menunda-nya di partai pungkasannya (Matrix Revolution) karena banyaknya konflik yang musti diselesaikan dalam satu alur film. "V for Vendetta" adalah vendetta bagi Wachowski bersaudara untuk menuntaskan pesan yang belum tersampaikan dari trilogi Matrix. Lawan!!!

Salut buat Wachowski brothers dan juga James McTeigue!
Rate: 8.5 from 10, and hang into my second place best ever movie!

posted by Helman Taofani at 1:23 PM 2 comments

Tuesday, March 14, 2006

The Edukators


Film ini direkomendasikan oleh Keke, simpatisan sosialis dan idealis pula. Gw pikir film ini bakal "membela" banyak dunianya, ternyata ada dialektika dua arah antara pihak yang mengkritik dan pihak yang dikritik, dalam hal ini anti-kapitalis dan corong kapitalis itu sendiri. Dramatikal yang khas di era Reagan dulu (that "neo-con" things) dan coba dituangkan dalam film oleh sineas Jerman, Hans Weingartner dan mengusung tagline paten: Your Days of Plenty are Numbered!

Cerita film berputar pada karakter Peter (Stipe Erceg) dan Jan (Daniel Bruehl), dua pemuda yang mempunya hobi masuk ke rumah orang-orang kaya (borjuis) dan mengatur kembali perabot dan aksesoris, kemudian meninggalkan pesan seperti tagline di atas, atau "You Have Too Much Money!". Peter adalah pribadi pragmatis, yang bisa diandalkan, sementara Jan adalah seorang idealis sejati yang selalu resah dengan ketidak-imbangan kondisi dunia saat ini. Suatu saat muncul Jule (Julia Jentsch), kekasih Peter, sekaligus sebagai orang ketiga di antara Peter dan Jan. Ketika Peter pergi ke Barcelona, Jan "mengajari" Jule tentang aktivitas rahasia Peter&Jan dengan membobol masuk ke rumah jutawan Hardenberg (Burghart Klaussner), yang juga merupakan kreditur dari Jule (dimana Jule berhutang 94.500 euro). Celakanya, satu kejadian memaksa Hardenberg melihat wajah Jule. Jan dan Jule kemudian meminta bantuan Peter menculik Hardenberg ke pedesaan, dimana dialog sesungguhnya tentang esensi film dimulai. Di scene demi scene pada momen tersebut, juga mulai terkuak hubungan rahasia Jan dan Jule yang bisa memecah persahabatan Peter dan Jan, sekaligus idealisme mereka.

Seperti halnya film-film Eropa, film ini adalah film esensial dengan mengusung tema yang layak digarisbawahi. Isu yang dibawa juga merupakan permasalahn pelik bagi semua kaum idealis. Di beberapa scene pedesaan, dialog yang terjadi antara Peter, Jan dan Jule dengan jutawan Herdenberg seolah membawa kita ke dialektika Kapitalisme dan Sosialisme seperti yang kita baca dalam buku. Di samping banyak gambar-gambar indah ala sinema Eropa, The Edukators juga bisa menyampaikan secara seimbang tema esensial yang hendak dibawa. Alur yang dibawa juga langsung, to the point dan tidak terlalu banyak dramatisasi ala Hollywood. Lihat saja dialog-dialog esensial antara Peter dengan Jan (tentang "penting"-nya Rolex), Jan dengan Jule (tentang T-Shirt Che, atau stiker Anarchist yang dengan mudahnya didapat), sampai ke scene di pedesaan yang sangat esensial. Semua statement-statement "politis" itu dengan mudah masuk ke dalam film dan mengalir mengikuti alur yang relatif pelan. Secara apresiatif, akting dari Stipe Erceg juga mampu membawa emosi film secara keseluruhan.

Dan satu kejutan kecil tapi sangat esensial disampaikan di bagian terakhir film, dengan latar musik Jeff Buckley (Hallelujah). Film ini sangat kuat secara tema seperti biasanya film-film Eropa, hadir dengan script lugas dan dialog yang menantang (seperti halnya film Eropa) dan mampu berbicara dari sisi sinematografinya (mediator antara Eropa dan Amerika, sehingga enak dilihat). Bagi penonton awam, menonton film ini tetap menyegarkan dengan ending kejutan yang ditawarkan penulis skrip (Katharina Held dan Hans Weingartner). Sementara bagi pecandu idealis dan tengah resah terhadap golablisasi kapitalisme, mungkin menonton film ini bisa menjadi semacam terapi bagi kita semua untuk lebih pragmatis menghadapi keadaan dunia saat ini.

7.5/10
Die Fetten Jahre sind Vorbei!

posted by Helman Taofani at 11:09 AM 0 comments

Monday, March 13, 2006

11:14


Pernah menonton salah satu scene di Snatch (Guy Ritchie)? Adegan yang menggambarkan complex-frame dalam satu roll, dimana karakter Turkish melempar susu basi ke luar mobil, ke jendela mobil Sol dkk sehingga menabrak mobil Avi. "Komplikasi" adegan yang tidak mungkin ditampilkan dalam satu gambar itu (karena berada dalam setting waktu sama) disiasati dengan permainan alur yang brilian dari Guy Ritchie. Dan kini hadir versi panjang dari model serupa, masih bertema kecelakaan mobil, film yang disutradarai oleh Greg Marcks yang berjudul 11:14 (eleven fourteen).

Jalinan ceritanya menggabungkan scene yang terjadi pada pukul 11:14, dari beberapa kejadian terpisah yang ternyata saling memiliki reaksi berantai. Kejadian-kejadian kecelakaan yang melibatkan karakter Aaron (Blake Heron), Eddie (Ben Foster), Duffy (Shawn Hatosy), Cheri (Rachael Leigh Cook) dan ayahnya (Patrick Swayze) ternyata saling berhubungan satu sama lain. Satu kejadian menuntun ke kejadian yang lain. Kira-kira demikian deskripsi yang bisa diberikan sebagai sinposis cerita. Hanya saja, Marcks mengaturnya dalam bentuk alur dengan timing yang twist, sehingga kita akan melihat satu demi satu kejadian meski setting-nya ada dalam waktu dan tempat yang relatif collide, yaitu antara pukul 11:14.

Bagi yang pernah menikmati adegan dalam Snatch, menonton film ini cukup predictable, dengan hanya mengandalkan twisted plot dan jalinan cerita yang terkesan "dipaksakan". Tetapi mencermati skenario ceritanya, ada sedikit kejutan yang disajikan oleh Marcks dengan memberikan "sentuhan" ala Love Actually atau Crash. Ada misteri sendiri yang terjawab kenapa adegan dari karakter A ditempatkan di urutan kesekian, dan mana yang dipilih menjadi pernagkai-nya. Film ini merupakan film bagus yang relatif bisa dinikmati oleh penggemar sinema yang membutuhkan tontonan dengan variasi teknik pengembangan cerita dan alur.

6.5/10

posted by Helman Taofani at 12:26 PM 0 comments

Tim Burton's Corpse Bride



Gw ngga pernah pesimis sama karya Tim Burton. Bagaimanapun "standar"-nya, Tim punya "kelas" tersendiri untuk mewakilkan citarasanya. Corpse Bride adalah animasi stop-motion yang dirilis ngga jauh dari karya lain-nya, Charlie and the Chocolate Factory. Dua-duanya film keluarga, meski yang pertama (Corpse Bride) bermuatan lebih dark dan gloom, ala Tim Burton (Nightmare Before Christmas, Edward Scissorhand, Legends of the Sleepy Hollow dan Batman Returns).

Corpse Bride bercerita tentang Victor Van Dort (Johnny Depp) yang mengalami paranoia kegagalan upacara penikahannya dengan putri bangsawan-bangkrut, Victoria. Victor kemudian rehearsal di sebuah hutan, dan tanpa sengaja mengucapkan sumpah pernikahan yang membangkitkan mayat perempuan bernama Emily (Helena Bonham Carter). Dalam sejarahnya, Emily mati dibunuh ketika menunggu calon-pengantinnya di hutan tersebut, dan arwahnya penasaran menunggu calon suaminya. Oleh karena Victor yang mengucapkan sumpah pernikahan sekaligus menyematkan cincin ke kerangkanya, Emily berpikir bahwa Victorlah suami yang ditunggunya. Kondisi ini menyebabkan Victor harus hidup di dunia kematian, sementara Vitoria, calon pengantin Victor sesungguhnya sedang terancam dinikahi oleh bangsawan licik yang misterius.

Menonton film ini adalah menonton film yang "on target". Tidak banyak basa-basi, dan langsung ke inti cerita. Tetapi ada banyak aspek yang bisa kita nikmati dari durasinya yang hanya 80 menitan itu. Danny Elfman yang sekali lagi bekerja bersama Tim Burton membuktikan kapasitasnya dengan mengiringi latar musikal yang sangat menarik. Adegan favorit gw antara lain "pacaran" antara Emily dan Victor dengan piano yang sangat menarik (mungkin karena ketertarikan gw sama musik klasik juga). Juga adegan-adegan ala "India" yang banyak bernyanyi, rasanya memberi "warna" bagi film Burton yang didominasi oleh kekelaman ini. Tentu saja, bagi yang suka dengan Nightmare Before Christmas, hal seperti ini bukan perkara yang asing. Termasuk karakter-karakter surealis yang friendly dan enak dipandang. Apple-Pie-nya pipi Victoria, kebungkukan nenek tua dan sebagainya disajikan melalui karakter yang sangat menarik.

7/10

posted by Helman Taofani at 11:16 AM 0 comments

Monday, February 27, 2006

MirrorMask + Pelican Brief

Kali ini ada dua film yang pengen saya bahas quick-fix. Film pertama, MirrorMask, sebuah film surealistik karya Neil Gaiman yang saya tonton dari DVD. Kemudian yang kedua, film yang diangkat dari novel John Grisham, Pelican Brief dari layar kaca ANTV.

MirrorMask


Helena Campbell (Stephanie Leonidas) adalah gadis ABG dari keluarga sirkus yang suka menggambar ilustrasi surealistik mengenai kehidupannya di dinding. Suatu ketika, Helena bangun di sebuah dunia surealistik yang asing dan hanya bertemu dengan seorang bertopeng aneh bernama Valentine. Bersama Valentine, Helena menyadari sebuah fenomena aneh, di mana dia harus mencari sebuah topeng kaca yang bernama "the Charm" untuk menyelamatkan alam surealis tersebut. Seperti yang kita duga, ngga segampang itu mendapatkan topeng tersebutm dan petualangan pun dimulai.

Sekilas memang standar seperti film anak-anak lain. Tapi yang bikin unggul adalah penciptaan dunia surealistik yang sangat "wah" dari tim CGI dan ilustrasi. Seolah kita berada di dunia mimpi Salvador Dali dan menjumpai makhluk-makhluk ganjil surealistik seperti sphinx berwajah manusia, dinding-dinding waktu, patung raksasa, dan merpati-monyet. Film ini adalah achievement untuk penggemar seni surealistik, sekaligus dunia CGI yang full dengan imajinasi.

7/10

Pelican Brief


Darby Shaw (Julia Roberts), seorang mahasiswi jurusan hukum membuat suatu teori konspirasi yang menguhubungkan pembunuhan dua hakim agung dan presiden AS. Dokumen teori tersebut tersebar di kalangan FBI, penasihat kepresidenan dan instansi lain yang segera menyudutkan Shaw dengan serangkaian pengejaran. Sampai kepada suatu ujung yang mempertemukan Shaw dengan seorang jurnalis Washington Herald bernama Gray Grantham (Denzel Washington). Dari situ, game berbalik dan menuju ending yang khas dengan karya-karya John Grisham lainnya.

Tidak ada yang spesial, secara narasi, gambar dan akting masih ada dalam kisaran standar. Bagaimanapun, cerita-cerita Grisham selalu membuat kita menunggu sampai akhir untuk mengetahui penyelesaiannya, meski garis besar kasus selalu diketahui di awal.

6.5/10

posted by Helman Taofani at 6:40 PM 0 comments

The Constant Gardener




Sekitar tiga tahun yang lalu, saya pernah membuat semacam "anjuran" bagi para sineas Indonesia untuk memoderasikan nilai idealisme dan populisme. Anjuran tersebut berkaca pada perbandingan antara film "Daun di Atas Bantal" karya sutradara Garin Nugroho dan film "Cidade de Deus" (aka City of God) karya sutradara Fernando Meirelles. Kedua film tersebut mengaca tema yang hampir serupa dan dengan gambar yang sama-sama menjadi titik berat pencapaian. Perbedaannya, "Daun di Atas Bantal" dianggap banyak orang sebagai film "langitan" karena tingkat kesulitan mencerna makna dan alur film. Berbeda dengan "Cidade de Deus", yang bisa mengkomunikasikan alur film secara baik, bahkan untuk pentonton awam sekalipun. Hasilnya, muatan makna yang akan disampaikan melalui film (sebagai tujuan utama, yang mengangkat semi-dokumentarian tentang anak-anak jalanan) bisa dengan mudah tercerna.

Pendekatan Dokumentarian
Tahun 2005, sutradara "Cidade de Deus" - Fernando Meirelles - kembali menghasilkan film yang berangkat dari kekuatan semi-dokumentarian tentang diskriminasi dan eksploitasi orang-orang Afrika untuk kepentingan bisnis kapitalisme. Pada JIFFest tahun 2003 lalu, saya menonton sebuah film dokumentari tentang bahaya terselubung dari bahan polikarbonat (PVC) yang bisa menghasilkan bermacam-macam penyakit parah. Muatan dalam film tersebut berupa jurnalisme investigatif, yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter. Contoh lain misalnya film-film Michael Moore, entah itu "Bowling for Columbine" atau "Fahrenheit 9/11" yang maha-terkenal itu. Belum lama ini kita disuguhi "Super Size Me", yang mengambil angle bahaya terabaikan dari produksi massal fastfood. Beberapa film dokumenter kini tengah berkembang menjadi film yang enak dinikmati, mengikuti alur investigatif-nya. Membuat film dokumenter juga memperhatikan betul alur yang akan disampaikan kepada pemirsanya.

Kembali ke Meirelles, di akhir tahun 2005 ini filmnya yang berjudul "The Constant Gardener" dirilis. Film tersebut bercerita tentang seorang diplomat Inggris bernama Justin Quayle (Ralph Fiennes) yang tengah menyelidiki alasan dibalik kematian istrinya, Tessa Quayle (Rachel Weisz). Penyelidikan Justin mengarah kepada fakta tentang konspirasi global yang mengeksploitasi rakyat Afrika sebagai laboratorium hidup dari ujicoba obat-obatan. Di sinilah letak kekuatan film yang mecoba menceritakan dengan gaya dokumentarian sejati, dengan memanfaatkan alur untuk bercerita. Dengan plot yang melompat-lompat, kita justru dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan investigatif seorang Justin Quayle, mulai dari perkenalan dengan Tessa sampai fakta-fakta di balik kematian istrinya. Alurlah yang memegang kunci mengapa film dengan muatan "berat" seperti ini bisa dengan mudah dicerna, dibalik gambar-gambar indah ala Meirelles yang kali sukses memvisualisasikan lingkungan Afrika yang sepadan dengan kumuhnya Rio de Janeiro (bahkan lebih parah!). Di sini berbagai pertanyaan tentang kelayakan dan kemanusiaan muncul menjadi latar dari penyelidikan yang dilakukan Justin.

Well-Cooked Movie
Satu pencapaian brilian dari film ini adalah kemampuan sutradara (dan krunya) untuk memoderasikan bahasa gambar, alur yang mudah dicerna dan juga tema yang akan disampaikan (sehingga tidak terjebak dalam bahasa dokumnetarian). Ibarat memasak, tema dalah bahan baku (ingredients), alur itu adalah teknik memasak dan gambar adalah aspek dekoratif. Masakan Meirelles dalam "The Constant Gardener" adalah masakan ala Perancis yang memenuhi kriteria boga dalam diri bahan berkualitas, dimasak dengan baik dan disajikan dengan baik pula. Tanpa harus kehilangan nilai visual ketika memvisualisasikan kampung-kampung kumuh di sudut Kenya, Meirelles memberikan kepada kita keindahan tersendiri dari potret Afrika yang bukan berupa Jerapah atau Cheetah (bandingkan misalnya dengan eksploitasi model Edward Zwick - Last Samurai, atau Rob Marshall - Memoirs of a Geisha). Kemudian, tanpa harus mengalahkan tema, alur thriller yang melandasi film justru memberikan aroma investigasi untuk menjabarkan dengan gamblang permasalahan yang dicari serta hipotesa-hipotesa yang dirangkai, seperti halnya Michael Moore merangkai kejadian-kejadian menjadi hipotesa konsiprasi 9/11. Dan juga yang paling penting, sebuah film ditujukan untuk menyampaikan makna. Sekali lagi, film ini berhasil menyampaikan maknanya dalam bahasa script (melalui dialog dan monolog, serta ekspresi), alur dan juga gambar. Sebuah kekuatan kombinasi untuk menghasilkan tontonan berkualitas, sekaligus memoderasikan antara kekuatan tontonan dokumentarian yang analitis, dengan film fiksi yang menghibur.

Silahkan nikmati sendiri sajian satir dari Fernando Meirelles.

9/10 - Sulit mencari cacat dari film ini, terutama jika Anda bukan seorang bule berkulit putih!

posted by Helman Taofani at 2:48 PM 0 comments

Tuesday, February 21, 2006

Green Street Hooligans


Film tentang seorang Yankee (warga Amerika) bernama Matt (Elijah Wood), yang pergi ke Inggris mengunjungi kakak perempuannya, yang menikah dengan warga Inggris. Matt berkenalan dengan adik kakak-ipar-nya yang merupakan suporter fanatik kesebelasan WestHam United. Matt kemudian dikenalkan dengan komunitas hooligan WestHam, berinisial GSC, yang mempunyai reputasi sebagai salah satu hooligan brutal di Inggris. Dalam satu undian piala FA, WestHam akhirnya berhadapan dengan Millwall, musuh tradisional dengan suporter yang merupakan seteru abadi dari GSC.

Film ini menampilkan sisi lain dari sepakbola, yaitu hooliganisme. Dimana sejumlah orang yang hobi banget tawur sebagai pelampiasan pride, dignity, honor, dan juga tentu aja kekecewaan atau superioritas yang tidak tersalurkan dari lapangan hijau. Aturannya cukup sportif karena tawuran tidak menggunakan senjata yang mematikan. Barehands, atau pake kayu buat gebuk, batu buat lempar dan sebagainya. Makanya, jarang ada korban meski separah-parahnya masuk UGD. Dari serangkaian premis negatif itu bisa kita tangkap satu sisi positif yang dengan baik divisualisasikan melalui film ini; wujud kecintaan mereka pada klub, daerah dan sepakbola pada umumnya, meski penyalurannya kadang membahayakan jiwa mereka.

Yang menjadi poin plus, film ini adalah film Inggris yang tentunya udah sangat paham dengan budaya sepakbola. Beda dengan Goal! yang ditangani sineas Amerika. Terlihat jelas bagaimana sepakbola menjadi agama di Inggris yang tervisualisasikan dengan baik oleh sutradara Lexi Alexander. Di sini logat-logat cockney (bahasa prokem-nya London) juga banyak dipake sehingga menyulitkan gw menyimak omongan mereka (dengan subtitle yang telat). Tetapi sangat terbantu dengan visualisasi dan gambar yang dramatis sekaligus sangat realistis, dan menyentuh kita untuk melihat sisi lain sepakbola yang tidak terlihat di layar kaca. Akting brilian Charlie Hunnam sebagai berandalan khas Inggris sangat kuat, mampu menjadi satu fokus scene dari film, bahkan menyampingkan Elijah Wood yang memiliki kaliber lebih besar. Seperti halnya Daniel Day Lewis dalam Gangs of New York, Charlie Hunnam yang berperan sebagai Pete Dunham berdiri di garis abu-abu dengan sempurna. Coba deh film ini!

8/10 - Stand Your Ground and Fight!

posted by Helman Taofani at 2:58 PM 0 comments

About Me

Name: Helman Taofani

View my complete profile

B R A N C H E S

    Home

    Architecture

    Books

    Movie

    Music

    Friendster Blog

M Y T O P L I S T

    Fight Club In the Name of the Father Snatch Memento Shawshank Redemption The Godfather Pulp Fiction Cidade de Deus Dead Man Walking Ocean's 11

    Fight Club | In the Name of the Father | Snatch | Memento | Shawshank Redemption | Godfather | Pulp Fiction | Cidade de Deus | Dead Man Walking | Ocean's 11

W I S H L I S T

    The Cooler Unfaithful Lost and Delirious Sex and Lucia 21 Grams Irreversible Mulholland Drive Original Sin Waking the Dead The Dreamers

    Guess what kind movies listed in my wishlist?! It could be summarized in a single theme or had any kind of similarity or share the same characteristic.

S H I T H O L E

U P D A T E S

  • The Tiger and the Snow
  • Much More Movies for April 2006
  • V for Vendetta
  • The Edukators
  • 11:14
  • Tim Burton's Corpse Bride
  • MirrorMask + Pelican Brief
  • The Constant Gardener
  • Green Street Hooligans
  • Movie Marathon 4 - 14 Februari 2006

M O N T H L Y

  • November 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • September 2006
  • T H A N K S F O R V I S I T

      php hit counter

    Powered by Blogger