Mike Newell to Win the Goblet of Potter

Hari ini di Indonesia (at least kota-kota besar yang memiliki jaringan 21) serentak premier film yang banyak ditunggu: Harry Potter and The Goblet of Fire. Serial keempat dari tokoh fiktif karangan J.K Rowlings. Meledaknya penjualan buku Harry Potter sejak seri perdana-nya, Sorcerer's Stone membuat versi visualnya selalu dinantikan, baik para pecinta literatur-nya, atau yang sekedar malas membaca bukunya, dan kemudian memilih menunggu versi filmnya. Khas sekali generasi instan. Meski kadarnya hanya sekedar latah dari fans di luar negeri, Indonesia juga terkena "demam" Harry Potter, baik itu ketika launching buku maupun premier film-nya. Banyak yang menunggu visualisasi dari cult paling populer di era kita ini.
Goblet of Fire kali ini disutradarai oleh Mike Newell, nama yang asing untuk film megabudget setelah sebelumnya menyutradarai serangkaian film drama seperti "Four Wedding and Funerals" atau "Donnie Brasco". Di tangan Alfonso Cuaron (Y Tu Mama Tambien), serial ketiga dari penyihir kecil ini bisa dikatakan flop (secara apresiasi), setelah sebelumnya Chris Columbus memberi fondasi yang bagus, diantaranya dengan "mematenkan" Daniel Radcliffe, Rupert Grint atau Emma Watson sebagai siswa-siswi sekolah sihir Hogwarts. Cuaron memberi sentuhan "lebih dewasa" dengan memberikan banyak sekali penekanan emosional antar-karakter-nya. Hal yang justru tidak mampu diserap oleh audiens Harry Potter yang mestinya berusia antara anak-anak sampai remaja. Oleh karena itu, sempat diragukan juga ketika Mike Newell yang notabene sepesialis drama menangani proyek fantastis seperti film Harry Potter yang penuh dengan efek atau animasi. Entah nantinya tetap akan menekankan terhadap pengembangan karakter dan hubungan emosional mereka (seperti halnya Prisoner of Azkaban), atau memberi jalan cerita yang relatif lebih flat dan membiarkan menjadi sepenuhnya visualisasi dari buku. Efeknya memang ganda, seperti Charlie and the Chocolate Factory karya Roald Dahl yang difilmkan oleh Tim Burton. Di film tersebut Burton mengambil pendekatan "murni adaptasi" dari kisah cerita untuk anak sehingga alur dan pengembangan karakter cenderung flat. Tapi justru di situlah efek keberhasilan dari membawa cerita ala Dahl yang sederhana.
Sementara cerita Harry Potter karya J.K Rowlings memang lebih kompleks dengan banyaknya karakter dan alur cerita yang cenderung twisted. Bahkan lebih twisted daripada cerita J.R.R Tolkien (trilogi Lord of the Rings, Silmarillion atau The Hobbits) sekalipun karena dengan latar waktu yang lebih sempit, cerita Harry Potter berkembang dengan alur yang sedemikian banyak (tidak bisa di-skip dengan fast forwarding atau narasi). Hal itu adalah tantangan bagi sutradara untuk meringkas beratus halaman buku menjadi lebih kurang 120 menit visualisasi. Dan selama tiga seri yang sudah dikeluarkan, hal itulah yang menjadi permasalahan film Harry Potter. Rata-rata ketidakpuasan muncul dari "ketidaksetiaan" sutradara terhadap buku. Dengan jumlah halaman The Goblet of Fire yang jauh lebih tebal dari seri sebelumnya, maka Mike Newell harus bekerja keras untuk menjadikan karya-nya worthy bagi fans Potter. Tetapi satu hal yang mungkin akan meringankan, overlapping antara versi film dengan buku yang makin merapat membuat banyak juga audiens yang memilih untuk menunggu versi filmnya ketimbang membaca bukunya terlebih dahulu. Dengan demikian, judgement bagi Newell atas standardisasi terhadap versi otentik (buku)-nya akan semakin tipis. Kualitas seri keempat dari Harry Potter ini mungkin akan dinilai dari sisi-sisi teknis, seperti alur, karakter, visualisasi dan juga pertimbangan fundamental terhadap seri berikutnya, Order of Phoenix. Time will tell!