Banner

Monday, February 27, 2006

MirrorMask + Pelican Brief

Kali ini ada dua film yang pengen saya bahas quick-fix. Film pertama, MirrorMask, sebuah film surealistik karya Neil Gaiman yang saya tonton dari DVD. Kemudian yang kedua, film yang diangkat dari novel John Grisham, Pelican Brief dari layar kaca ANTV.

MirrorMask


Helena Campbell (Stephanie Leonidas) adalah gadis ABG dari keluarga sirkus yang suka menggambar ilustrasi surealistik mengenai kehidupannya di dinding. Suatu ketika, Helena bangun di sebuah dunia surealistik yang asing dan hanya bertemu dengan seorang bertopeng aneh bernama Valentine. Bersama Valentine, Helena menyadari sebuah fenomena aneh, di mana dia harus mencari sebuah topeng kaca yang bernama "the Charm" untuk menyelamatkan alam surealis tersebut. Seperti yang kita duga, ngga segampang itu mendapatkan topeng tersebutm dan petualangan pun dimulai.

Sekilas memang standar seperti film anak-anak lain. Tapi yang bikin unggul adalah penciptaan dunia surealistik yang sangat "wah" dari tim CGI dan ilustrasi. Seolah kita berada di dunia mimpi Salvador Dali dan menjumpai makhluk-makhluk ganjil surealistik seperti sphinx berwajah manusia, dinding-dinding waktu, patung raksasa, dan merpati-monyet. Film ini adalah achievement untuk penggemar seni surealistik, sekaligus dunia CGI yang full dengan imajinasi.

7/10

Pelican Brief


Darby Shaw (Julia Roberts), seorang mahasiswi jurusan hukum membuat suatu teori konspirasi yang menguhubungkan pembunuhan dua hakim agung dan presiden AS. Dokumen teori tersebut tersebar di kalangan FBI, penasihat kepresidenan dan instansi lain yang segera menyudutkan Shaw dengan serangkaian pengejaran. Sampai kepada suatu ujung yang mempertemukan Shaw dengan seorang jurnalis Washington Herald bernama Gray Grantham (Denzel Washington). Dari situ, game berbalik dan menuju ending yang khas dengan karya-karya John Grisham lainnya.

Tidak ada yang spesial, secara narasi, gambar dan akting masih ada dalam kisaran standar. Bagaimanapun, cerita-cerita Grisham selalu membuat kita menunggu sampai akhir untuk mengetahui penyelesaiannya, meski garis besar kasus selalu diketahui di awal.

6.5/10

posted by Helman Taofani at 6:40 PM 0 comments

The Constant Gardener




Sekitar tiga tahun yang lalu, saya pernah membuat semacam "anjuran" bagi para sineas Indonesia untuk memoderasikan nilai idealisme dan populisme. Anjuran tersebut berkaca pada perbandingan antara film "Daun di Atas Bantal" karya sutradara Garin Nugroho dan film "Cidade de Deus" (aka City of God) karya sutradara Fernando Meirelles. Kedua film tersebut mengaca tema yang hampir serupa dan dengan gambar yang sama-sama menjadi titik berat pencapaian. Perbedaannya, "Daun di Atas Bantal" dianggap banyak orang sebagai film "langitan" karena tingkat kesulitan mencerna makna dan alur film. Berbeda dengan "Cidade de Deus", yang bisa mengkomunikasikan alur film secara baik, bahkan untuk pentonton awam sekalipun. Hasilnya, muatan makna yang akan disampaikan melalui film (sebagai tujuan utama, yang mengangkat semi-dokumentarian tentang anak-anak jalanan) bisa dengan mudah tercerna.

Pendekatan Dokumentarian
Tahun 2005, sutradara "Cidade de Deus" - Fernando Meirelles - kembali menghasilkan film yang berangkat dari kekuatan semi-dokumentarian tentang diskriminasi dan eksploitasi orang-orang Afrika untuk kepentingan bisnis kapitalisme. Pada JIFFest tahun 2003 lalu, saya menonton sebuah film dokumentari tentang bahaya terselubung dari bahan polikarbonat (PVC) yang bisa menghasilkan bermacam-macam penyakit parah. Muatan dalam film tersebut berupa jurnalisme investigatif, yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter. Contoh lain misalnya film-film Michael Moore, entah itu "Bowling for Columbine" atau "Fahrenheit 9/11" yang maha-terkenal itu. Belum lama ini kita disuguhi "Super Size Me", yang mengambil angle bahaya terabaikan dari produksi massal fastfood. Beberapa film dokumenter kini tengah berkembang menjadi film yang enak dinikmati, mengikuti alur investigatif-nya. Membuat film dokumenter juga memperhatikan betul alur yang akan disampaikan kepada pemirsanya.

Kembali ke Meirelles, di akhir tahun 2005 ini filmnya yang berjudul "The Constant Gardener" dirilis. Film tersebut bercerita tentang seorang diplomat Inggris bernama Justin Quayle (Ralph Fiennes) yang tengah menyelidiki alasan dibalik kematian istrinya, Tessa Quayle (Rachel Weisz). Penyelidikan Justin mengarah kepada fakta tentang konspirasi global yang mengeksploitasi rakyat Afrika sebagai laboratorium hidup dari ujicoba obat-obatan. Di sinilah letak kekuatan film yang mecoba menceritakan dengan gaya dokumentarian sejati, dengan memanfaatkan alur untuk bercerita. Dengan plot yang melompat-lompat, kita justru dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan investigatif seorang Justin Quayle, mulai dari perkenalan dengan Tessa sampai fakta-fakta di balik kematian istrinya. Alurlah yang memegang kunci mengapa film dengan muatan "berat" seperti ini bisa dengan mudah dicerna, dibalik gambar-gambar indah ala Meirelles yang kali sukses memvisualisasikan lingkungan Afrika yang sepadan dengan kumuhnya Rio de Janeiro (bahkan lebih parah!). Di sini berbagai pertanyaan tentang kelayakan dan kemanusiaan muncul menjadi latar dari penyelidikan yang dilakukan Justin.

Well-Cooked Movie
Satu pencapaian brilian dari film ini adalah kemampuan sutradara (dan krunya) untuk memoderasikan bahasa gambar, alur yang mudah dicerna dan juga tema yang akan disampaikan (sehingga tidak terjebak dalam bahasa dokumnetarian). Ibarat memasak, tema dalah bahan baku (ingredients), alur itu adalah teknik memasak dan gambar adalah aspek dekoratif. Masakan Meirelles dalam "The Constant Gardener" adalah masakan ala Perancis yang memenuhi kriteria boga dalam diri bahan berkualitas, dimasak dengan baik dan disajikan dengan baik pula. Tanpa harus kehilangan nilai visual ketika memvisualisasikan kampung-kampung kumuh di sudut Kenya, Meirelles memberikan kepada kita keindahan tersendiri dari potret Afrika yang bukan berupa Jerapah atau Cheetah (bandingkan misalnya dengan eksploitasi model Edward Zwick - Last Samurai, atau Rob Marshall - Memoirs of a Geisha). Kemudian, tanpa harus mengalahkan tema, alur thriller yang melandasi film justru memberikan aroma investigasi untuk menjabarkan dengan gamblang permasalahan yang dicari serta hipotesa-hipotesa yang dirangkai, seperti halnya Michael Moore merangkai kejadian-kejadian menjadi hipotesa konsiprasi 9/11. Dan juga yang paling penting, sebuah film ditujukan untuk menyampaikan makna. Sekali lagi, film ini berhasil menyampaikan maknanya dalam bahasa script (melalui dialog dan monolog, serta ekspresi), alur dan juga gambar. Sebuah kekuatan kombinasi untuk menghasilkan tontonan berkualitas, sekaligus memoderasikan antara kekuatan tontonan dokumentarian yang analitis, dengan film fiksi yang menghibur.

Silahkan nikmati sendiri sajian satir dari Fernando Meirelles.

9/10 - Sulit mencari cacat dari film ini, terutama jika Anda bukan seorang bule berkulit putih!

posted by Helman Taofani at 2:48 PM 0 comments

Tuesday, February 21, 2006

Green Street Hooligans


Film tentang seorang Yankee (warga Amerika) bernama Matt (Elijah Wood), yang pergi ke Inggris mengunjungi kakak perempuannya, yang menikah dengan warga Inggris. Matt berkenalan dengan adik kakak-ipar-nya yang merupakan suporter fanatik kesebelasan WestHam United. Matt kemudian dikenalkan dengan komunitas hooligan WestHam, berinisial GSC, yang mempunyai reputasi sebagai salah satu hooligan brutal di Inggris. Dalam satu undian piala FA, WestHam akhirnya berhadapan dengan Millwall, musuh tradisional dengan suporter yang merupakan seteru abadi dari GSC.

Film ini menampilkan sisi lain dari sepakbola, yaitu hooliganisme. Dimana sejumlah orang yang hobi banget tawur sebagai pelampiasan pride, dignity, honor, dan juga tentu aja kekecewaan atau superioritas yang tidak tersalurkan dari lapangan hijau. Aturannya cukup sportif karena tawuran tidak menggunakan senjata yang mematikan. Barehands, atau pake kayu buat gebuk, batu buat lempar dan sebagainya. Makanya, jarang ada korban meski separah-parahnya masuk UGD. Dari serangkaian premis negatif itu bisa kita tangkap satu sisi positif yang dengan baik divisualisasikan melalui film ini; wujud kecintaan mereka pada klub, daerah dan sepakbola pada umumnya, meski penyalurannya kadang membahayakan jiwa mereka.

Yang menjadi poin plus, film ini adalah film Inggris yang tentunya udah sangat paham dengan budaya sepakbola. Beda dengan Goal! yang ditangani sineas Amerika. Terlihat jelas bagaimana sepakbola menjadi agama di Inggris yang tervisualisasikan dengan baik oleh sutradara Lexi Alexander. Di sini logat-logat cockney (bahasa prokem-nya London) juga banyak dipake sehingga menyulitkan gw menyimak omongan mereka (dengan subtitle yang telat). Tetapi sangat terbantu dengan visualisasi dan gambar yang dramatis sekaligus sangat realistis, dan menyentuh kita untuk melihat sisi lain sepakbola yang tidak terlihat di layar kaca. Akting brilian Charlie Hunnam sebagai berandalan khas Inggris sangat kuat, mampu menjadi satu fokus scene dari film, bahkan menyampingkan Elijah Wood yang memiliki kaliber lebih besar. Seperti halnya Daniel Day Lewis dalam Gangs of New York, Charlie Hunnam yang berperan sebagai Pete Dunham berdiri di garis abu-abu dengan sempurna. Coba deh film ini!

8/10 - Stand Your Ground and Fight!

posted by Helman Taofani at 2:58 PM 0 comments

Wednesday, February 15, 2006

Movie Marathon 4 - 14 Februari 2006

Dalam rangka ulang tahun dan juga menyambut valentine, gw menghabiskan banyak waktu menonton film. Entah itu menonton film khusus di bioskop, atau juga menikmati gratisan di televisi yang kebetulan banyak mengumbar film-film romnatis menyambut Valentine's Day.


Crash - 4 Februari 2006
Ini adalah serian pertama dari marathon film. Film ini adalah film multi-kasting dan multi-karakter, masing-masing membawa kompleksitas ceritanya sendiri-sendiri. Ada seorang officer polisi yang rasial, tukang kunci latino yang sayang terhadap anaknya, duet perampok negro yang prejudis, bapak keturunan Iran yang parno, dan lain sebagainya. Pada intinya, film ini dirangkai dengan sebuha perkataan dari karakter yang diperankan Don Cheadle di awal film, bahwa manusia membutuhkan "sentuhan-sentuhan" untuk mengingatkan atas jatidirinya. Masalahnya manusia saat ini lebih sering berada di balik selubung metal dan kaca sehingga menjadi tidak sensitif terhadap satu sama lainnya. Dan alur cerita pun bergulir.

Secara serempak, kita disuguhi oleh gambar permasalahan-permasalahan rasisme sehari-hari yang mungkin kita praktekkan juga. Banyak kejadian yang diteropong dari banyak sudut pandang, yang pada akhirnya dirangkaikan dalam satu pertautan adegan seperti di film Love Actually. Karakter-karakter yang bermain dalam film ini bermain brilian dan memiliki poin tersendiri. Don Cheadle, Matt Dillon, Chris 'Lucacris" Bridges dan Ryan Phillipe mampu bermain secara optimal menghidupi film ini. Crash adalah satu film terbaik di tahun 2005 lalu, dan menyabet 6 nominasi Academy Award. Film ini layak ditonton siapapun yang tengah krisis dengan persoalan humanisme, seperti bangsa Indonesia dan manusia di dunia.

8/10 - sedikit lagi perbaikan menghilangkan scene yang standar, bisa jadi film sempurna!


Aeon Flux - 11 Februari 2006
Dibintangi Charlize Theron, sebagai jagoan seksi Aeon Flux. Kisah yang diadopsi dari serial kartun MTV, dan disutradarai oleh Karyn Kusama. Bercerita tentang Aeon yang menghadapi misi untuk membunuh Trevor Goodchild di tengah rentetan peristiwa yang mengancam satu-satunya kota steril di masa depan. Misi yang cenderung mudah tapi dipersulit oleh kenyataan-kenyataan masa lalu Aeon dan Trevor Goodchild, serta misteri dibalik menghilangnya penduduk kota, termasuk Una Flux adik adri Aeon.

Tidak ada yang luar biasa dari film ini. Hanya film klise tentang jagoan di masa depan (ingat film Equilibrium?) yang mencoba membongkar misteri dibalik satu-satunya kota sempurna (ingat film The Island?). Pertanyaan tentang keadaan yang terlalu sempurna dan upaya resistensi dari satu golongan di bawah tanah yang tidak silau oleh kondisi "madani" tersebut (ingat The Matrix?). Kecuali kostum, dan juga penampilan "menyegarkan" dari Charlize Theron sendiri, tidak banyak memori yang bisa diambil dari film ini. Bahkan sebelum film selesai, banyak adegan yang langsung hilang dari memori kita.

4/10 - tiga poin disumbangkan oleh keterpanaan saya terhadap miss Theron!


Realita, Cinta dan Rock N Roll - 11 Februari 2006
Mungkin permasalahan utama dari penulis skenario di Indonesia adalah kekurangan referensi, sehingga mereka selalu saja menulis tentang hal-hal yang klise tanpa dilandasi oleh semangat meneliti yang tinggi. Konsepsi Rock N Roll di sini diterjemahkan secara awam sekali, sebagai kebebasan yang liar, hippies ala 70an, dan gengsi tinggi sebagai seorang cowok. Absurd sekali menlihat frame demi frame dari film karya Upi (sutradara 30 hari mencari cinta) yang mencoba menerjemahkan hal itu dalam bentuk karya visual. Belum lagi sejumlah visualisasi klise yang sangat membosankan, karena hampir sepanjang sejarah film Indonesia selalu saja memunculkan hal seperti itu-itu saja. Coba simak, berapa puluh persen film yang menghadirkan bencong dengan logat sedemikian, menarik casting yang sebetulnya kurang kapabel tapi namanya diperlukan, lomba yang sudah pasti memihak underdog protagonis, dan juga "engkau-bukan-anakku" syndrom. Satu-satunya hal yang menarik perhatian saya adalah akting dari Herjunot Ali (salah satu pendatang baru di blantika film) yang mampu bermain dengan sangat wajar dan scene-stealers dengan dialog-dialognya yang sangat hidup. Melihat Nugi, karakter yang diperankan Junot di situ kita akan blur dengan kenyataan sebenarnya. Seolah disitu Junot bermain sebagai dirinya sendiri. Satu poin yang sangat membantu, anyway.

Film ini bercerita tentang dua sahabat yang diperankan Vino Bastian dan Herjunot Ali. Mereka terobsesi menjadi rockstar lengkap dengan fashion cuek-nya yang dianggap oleh penulis skenario sebagai rock n roll attitude. Dikisahkan dalam film, mereka berdua masih SMA! Di tengah-tengah mereka hadir seorang perempuan penggoda yang diperankan oleh Nadine Chandrawinata, sang Miss Indonesia 2005. Masing-masing karakter membawa beban hidup mereka sendiri-sendiri, yaitu dari keluarga. Ipang (Vino) mencoba lari dari permasalahan realita yang diketahui tentang statusnya dalam keluarga. Nugi (Junot) mencoba menghadapi realita bahwa ayahnya adalah seorang transeksual. Dari situ mereka memakai falsafah rock n' roll dan cinta untuk bertahan.

5/10 - 4 di antaranya untuk buah akting Junot!


Sweet November - 12 Februari 2006
Film lawas yang kebetulan ditayangkan oleh TV 7. Kisah romansa ala Hollywood tentang Sara (Charlize Theron) dan Nelson (Keanu Reeves). Nelson adalah seorang metro-sex, pria karir yang egoistis ala manusia-manusia urban. Kehidupan yang bak sempurna itu coba diubah oleh Sara, seorang gadis "liar" yang hidup di dunianya sendiri. Pertemuan yang berawal dari hal yang remeh temeh, kemudian berkembang menjadi big deal. Salah satu merasa worthless, tapi di saat kritis sadar akan pentingnya kebersamaan bersama pasangannya. You name it! Ceritanya memang demikian adanya. Sangat standar sebagai film percintaan gaya Hollywood. Bisa saja, secara aktual, diambil pesan-pesan moralnya. Tapi bukankah semua film romansa Amerika demikian adanya?

5/10 - so so...


Serendipity - 14 Februari 2006
Jika Sweet November termasuk film yang so-so karena sedemikian standar, lain halnya dengan Serendipity. Meski masih klise dengan jalinan ceritanya, tetapi hampir dipastikan menonton film ini untuk pertama kalinya pasti membangun suatu rasa penasaran untuk mengikuti jalan cerita sampai akhir. Hadirnya tokoh-tokoh di sekitar karakter Jon (John Cussack) dan Sara (Kate Beckinsale) bukan meyakinkan kita bahwa kisah mereka akan berjalan lancar, tetapi memberikan percikan-percikan cerita yang menarik. Dikisahkan Jonathan bertemu dengan Sara dalam suatu kejadian yang bisa dibilang kebetulan belaka. Karena masing-masing mempunyai komitmen dengan pasangan masing-masing, keduanya hanya bisa berharap bahwa takdirlah yang akan menyatukan mereka kembali jika memang berjodoh. Jon menuliskan nomer kontaknya di selembar uang, dan Sara menuliskan miliknya di halaman sebuah buku. Kemudian kedua barang itu segera beredar, dan hampir mustahil untuk menemukannya kembali.

7/10 - selain cerita yang unik, film ini juga hadir dengan scoring musik bagus...

posted by Helman Taofani at 12:01 PM 2 comments

About Me

Name: Helman Taofani

View my complete profile

B R A N C H E S

    Home

    Architecture

    Books

    Movie

    Music

    Friendster Blog

M Y T O P L I S T

    Fight Club In the Name of the Father Snatch Memento Shawshank Redemption The Godfather Pulp Fiction Cidade de Deus Dead Man Walking Ocean's 11

    Fight Club | In the Name of the Father | Snatch | Memento | Shawshank Redemption | Godfather | Pulp Fiction | Cidade de Deus | Dead Man Walking | Ocean's 11

W I S H L I S T

    The Cooler Unfaithful Lost and Delirious Sex and Lucia 21 Grams Irreversible Mulholland Drive Original Sin Waking the Dead The Dreamers

    Guess what kind movies listed in my wishlist?! It could be summarized in a single theme or had any kind of similarity or share the same characteristic.

S H I T H O L E

U P D A T E S

  • The Tiger and the Snow
  • Much More Movies for April 2006
  • V for Vendetta
  • The Edukators
  • 11:14
  • Tim Burton's Corpse Bride
  • MirrorMask + Pelican Brief
  • The Constant Gardener
  • Green Street Hooligans
  • Movie Marathon 4 - 14 Februari 2006

M O N T H L Y

  • November 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • September 2006
  • T H A N K S F O R V I S I T

      php hit counter

    Powered by Blogger