Banner

Saturday, January 14, 2006

Memoirs Yang Gagal Memberikan Memoir



Diangkat dari novel laris Arthur Golden, Memoirs of Geisha menjadi tirai pembuka deretan film-film "ala-Oscar" yang mengawali tahun. Lepas dari segala kontroversi tentang profesi geisha sendiri, apa yang diceritakan Golden ini sejatinya merupakan langkah pemartabatan geisha, pada awal perkembangannya, sebagai bagian tradisi. Mengambil tokoh sentral si empunya memoir ini, Sayuri, Golden menuturkan salah satu pergeseran nilai budaya menjadi nilai komoditi yang menyamaratakan geisha dengan pelacur berbaju kimono.

Alkisah dua bersaudari, Chiyo (Suzuka Ohgo) dan kakaknya Satsu (Samantha Futerman) yang dijual oleh orangtuanya sendiri ke rumah penampungan geisha di kota Hanamachi. Chiyo lebih beruntung karena diminati oleh induk semang geisha kelas tinggi, Nitta (Kaori Momoi), sementara Satsu dijual ke tempat pelacuran. Chiyo kemudian hidup mengabdi di induk semang yang biasa dipanggil dengan "Mother", bersama satu lagi calon geisha, Pumpkin (Zoe Weizenbaum), serta satu top flight geisha saat itu, Hatsumono (Gong Li). Kehadiran Chiyo yang memiliki potensi untuk mejadi geisha membuat iri Hatsumono, yang dengan berbagai cara membuat intrik untuk menjauhkan Chiyo dari dunia geisha. Sampai kemudian pertemuannya dengan seorang ketua partai (Ken Watanabe) membuka cita-cita Chiyo untuk menekuni dunia geisha. Ambisi tersebut didukung oleh Mameha (Michelle Yeoh), geisha senior yang menjadikan Chiyo sebagai anak didiknya. Singkat cerita, Chiyo kemudian menjadi geisha top di Hanamachi dan merubah namanya menjadi Sayuri (Zhang Ziyi). Sayang, ambisi untuk dekat dengan sang ketua partai tidak semudah jalan Sayuri menapaki jenjang level geisha.

Hal yang paling menjadi kontroversi dari film ini adalah casting. Tiga tokoh yang mempunyai role sentral sebagai geisha tidak satupun jatuh kepada aktris asli Jepang. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah berarti dalam role-filmnya. Justru penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa dialoglah yang sangat menganggu. Pada awal film, sempat terdengar percakapan dalam bahasa Jepang, kemudian beralih ke dalam bahasa Inggris yang terbata-bata (khas Asian-Eng) dan diselingi bahasa-bahasa Jepang macam "haik", "danna" atau "arigato". Rancu antara itu disebabkan karena geisha dan calon geisha tersebut memang berbicara dalam bahasa Inggris, atau salah satu bentuk trans-lingua mengingat ini adalah film untuk negara berbahasa Inggris. Padahal, dialog dalam bahasa Jepang (seperti halnya Last Samurai) juga tidak begitu bermasalah rasanya.

Aspek selanjutnya adalah kekurangsabaran sutradara Rob Marshall untuk memoles satu alur penceritaan yang bisa memperjelas posisi karakter-karakternya. Hampir tidak ada satu peran yang menonjol dalam karakter-karakter yang ditampilkan karena tegasnya nilai yang ingin disampaikan. Karakter Hatsumono sangat jelas berwarna hitam, dan Sayuri sebagai lawannya. Yang patut dicermati justru kehadiran karakter induk semang (Kaori Momoi) yang membawa jalan cerita. Perubahan karakternya menentukan tone cerita pasang surut nasib Chiyo sampai menjadi Sayuri (bahkan sampai akhir film). Tetapi kekurangrapian jalinan cerita membuat hubungan-hubungan antar karakter itu menjadi kabur, padahal pesan yang akan disampaikan justru berdasarkan pada perubahan role-playing dari top flight geisha: Hatsumono ke Sayuri. Sebagai film drama, hal ini lumayan fatal untuk membingungkan pemirsa film yang tidak familiar dengan novelnya (suatu pilihan klasik dari semua film adaptasi novel). Rob Marshall malah menekankan kepada penyajian gambar-gambar indah negeri sakura yang lebih cocok untuk setting kolosal (semacam upaya yang dibuat Edward Zwick dalam Last Samurai). Secara keseluruhan, film ini gagal menancapkan memoirs khusus bagi pemirsanya, dan tidak berhasil mengulang apa yang diraih Arthur Golden melalui novel.

Tetapi, apakah film ini memang hanya dibuat untuk tujuan visualisasi? Sayang sekali jika demikian adanya...

posted by Helman Taofani at 9:40 PM 1 comments

Wednesday, January 11, 2006

Menahan Ego Untuk Kisah yang Jujur - Review Film "An Unfinished Life"

Membuat film sederhana kadang justru tidak mudah. Bagaimana kita menahan emosi untuk menuturkan suatu kisah dengan jujur tanpa blow up dramatisir dan sebagainya, menjadi probelma klasik dalam penyusunan naskah film. Coba kita tengok, film ala sinetron yang penuh dengan adegan over-dramatisir sekaligus over-akting. Atau dari kebiasaan sehari-hari ketika kita bercerita kejadian biasa saja, tetapi kita bombardir dengan kejadian tambahan untuk menambah menarik cerita tersebut.



Masalah itu muncul dalam penuturan tentang kisah keluarga Gilkyson dalam film An Unfinished Life. Einar Gilkyson (Robert Redford) yang terbiasa dengan kesendiriannya mengurus eks-tanah ranch-nya serta merawat eks-pekerjanya yang terluka (Morgan Freeman) dipaksa menerima kembali menantu yang kurang disukainya, Jean (Jennifer Lopez). Tetapi kehadiran cucu semata wayang-nya, Griff Gilkyson (Becca Gardner), cukup membawa pelita hidup kembali dari Einar yang masih meratapi kepergian anak tunggalnya, bernama sama dengan sang cucu.

Sesimpel itu jalan cerita yang dirangkai oleh penulis skenario (Mark Spragg dan Virginia Spragg) untuk menjadikan sebuah film. Tanpa bumbu-bumbu dramatis, kecuali sedikit peran eks-kekasih Jean (Damian Lewis) yang membawa alur cerita. Bagi sebagian orang, film seperti ini akan menjadi boring, tetapi jika kita kaji dalam ranah unsur ekstrinsik dan intrinsik, maka film ini adalah film yang berjalan pada relnya. Kemauan sutradara (Lasse Hallstorm) untuk menggambarkan keindahan alam Wyoming juga cukup digambarkan melalui pemandangan panorama yang indah, serta kehadiran unsur liar dalam diri beruang dan rakun. Semuanya merangkai film dalam bentuk bingkai yang bagus tanpa harus berlebihan. Mengingatkan gw sama film yang disutradarai Redford, A River Runs Through It. Sebuah film sederhana, yang dengan kesederhanaannya membawa kita menyelami emosi karakter-karakternya. Suatu kredit bagus untuk aktor dan aktrisnya, terutama si kecil Becca Gardner yang sangat sederhana dan natural.

Coba film ini untuk membuktikan apakah Anda suka film atau hanya suka hype di sekitar pembuatan film!

posted by Helman Taofani at 5:11 PM 0 comments

Sunday, January 08, 2006

Guy Ritchie's Revolver (Full Spoiler Alert)

Sabtu kemaren (7 Januari 2006), gw mengawali catatan film dengan menonton film besutan sutradara favorit gw, Guy Ritchie. Sedikit bercerita tentang sutradara asal Inggris ini, debut filmnya yang berjudul Lock Stock and Two Smoking Barrels (LS2SB) sangat berkesan buat gw. Nonton di suatu festival film yang diadakan British Council pada waktu gw SMU, inilah yang membuat gw addicted sama film. LS2SB adalah film black comedy, tentang gangster di London yang relatif konyol tapi dengan penyelesaian luar biasa brilian. Top notch dari Ritchie! Film keduanya berjudul Snatch. Jika film pertama bisa dibilang full-UK casting (dan mengangkat nama Jason Statham), maka film kedua juga masih didukung beberapa cast bawaan dari LS2SB (termasuk Statham). Bedanya, Snatch lebih dipermanis dengan kehadiran Brad Pitt dan Benicio del Toro. Pitt memerankan berandalan gipsi bernama Mickey O'Neill yang berbicara dengan logat aneh campuran dialek Scot-Irish yang ekstra cepet sehingga orang Inggris sendiri bingung dengan bahasa mereka ("d'ya likadawg?"). Masih dengan cerita yang twisted, alur yang acak dan skema komedi yang unik, film ini masih berkesan bagi gw. Sampe sekarang Snatch tetep masuk film terbaik sepanjang masa versi gw, dan Guy Ritchie adalah sutradara jempolan yang menjadi favorit gw pula.

Tetapi film-film itu tidak terlalu membuat nama Guy Ritchie dikenal sebagai sutradara jempolan (bahkan sebagai sutradara). Ketika pernikahannya dengan Madonna menjadi ekspos besar-besaran media, barulah nama Ritchie mulai dikenal. Bahkan julukannya adalah Mr. Madonna, seperti halnya David Beckham sebagai Spice Boy. Madonna pula yang mengantar Ritchie menuju film ketiganya, berjudul Swept Away, dan mengetengahkan Madonna sendiri sebagai bintang utamanya. Film ini gagal total! Bahkan dicap sebagai salah satu film terburuk sepanjang masa. Nampaknya bakat Ritchie bukan di film-film drama. Sempet vakum, baru pada tahun 2005 ini Guy Ritchie kembali merilis film terbarunya yang berjudul Revolver. Sekali lagi kembali ke film gangster, yang serta merta mengantar ke nostalgia LS2SB, atau Snatch. Film yang dirilis di bulan September ini tidak kunjung dapet kesempatan maen di jaringan bioskop kita karena serbuan film-film nasional. Bahkan di Surabaya, baru premir di awal tahun 2006 setelah "mengalah" terhadap hadangan King Kong dan Harry Potter. Apa boleh buat? Apresiasi film di Indonesia (apalagi di Surabaya) tidak sebesar di wilayah lain. Bahkan pada kesempatan gw menonton film ini, terpaksa dibatalkan karena tidak ada yang menonton selain gw, berdua sama cewe gw. Di hari selanjutnya, sampai 30 menit jelang putar film keadaan juga belum menunjukkan adanya penonton yang sudi membayar untuk film ini selain kita berdua. Baru pada kesempatan ketiga (karena tertolong oleh "malam minggu", yang mungkin rencana dimanfaatkan oleh pasangan untuk berasyik masyuk, tapi thanks anyway) kita baru bisa menonton. Berikut pra-sinopsisnya (berdasar subjektivitas), yang full-spoiler karena tujuan gw adalah untuk membandingkan kemungkinan jalan ceritanya.

Sinopsis (full spoiler)
Revolver bercerita tentang Jake Green (Jason Statham). Seorang lethal-gambler, yang kemampuan analitisnya sangat tajam sehingga "dimusuhi" oleh kasino-kasino karena relatif membuat bangkrut. Kemampuan Green kemudian dimanfaatkan oleh Dorothy Macha (Ray Liotta), seorang gangster kelas kakap untuk menjadikan dirinya sebagai slot-machine. Green menjadi kaki tangan Macha untuk mengeruk uang demi uang, sampai akhirnya terjegal ketika Green tertangkap polisi. Untuk memastikan agar Green tidak membocorkan rahasia Macha, maka gangster tersebut menyandera sodara ipar dan keponakan Green sebagai jaminan. Ipar Green kemudian menjadi korban dengan tewas di tangan Macha, sementara Green tidak pernah berkata sepatah katapun tentang dirinya sehingga dia mendekam 7 tahun di penjara.


Green menderita Claustrophobia (fobi terhadap tempat yang sempit), sementara sel-nya adalah ruangan isolasi yang sempit. Di situ Green mulai menderita halusinasi yang membuat dia mengidap skizofrenia. Green mulai dibayangi "teman-teman"-nya, satu berupa ahli catur, dan satu lagi berupa tukang tipu (con-man). Dua-duanya ahli taktik. Melalui media buku, Green kemudian mengembangkan kemampuannya, yang seolah-olah dia dapati melalui pertukaran pikiran dengan teman-teman imajiner-nya itu. 7 tahun berselang, Green akhirnya keluar dari penjara. Rencananya adalah pasti, yaitu membalas perlakuan Macha. Dua tahun selepas keluar dari penjara, Green mempunyai modal yang cukup untuk memulai perhitungannya dengan Macha. Dimulai dengan mendatangi kasino markas Macha.

Green mengikuti judi privat yantg diadakan Macha. Singkat kata, Green berhasil membuat bangkrut Macha. Macha kemudian memerintahkan bawahannya, Sorter (Mark Strong), untuk membunuh Green dan mengambil kembali uang Macha. Karena interupsi dari seorang misterius, Green berhasil selamat, meski salah satu rekannya meninggal. Sebagai balasan, Green diharuskan untuk "bekerja" bersama orang tersebut, yang kemudian diketahui bernama Zach (Vincent Pastore), serta sahabatnya Avi (Andre Benjamin). Keduanya sangat pandai dan ahli dalam hal strategi. Bersama keduanya, segera dimulai operasi untuk menguras harta Macha. Muslihat pertama adalah menciptakan karakter fiktif gangster yang lebih seram daripada Macha melalui serangkaian desas-desus. Maka terciptalah karakter fiktif bernama Sam Gold (mengingatkan gw terhadap figur Keyser Soze di film Usual Suspect garapan Brian Singer), yang mengadakan transaksi dengan Macha untuk pengadaan Kokain dalam jumlah besar.

Aksi menguras harta Macha dimulai dengan membobol brankas yang berisi kokain. Kelabakan karena kuatir tidak mampu memenuhi order dari Sam Gold, maka Macha memesan kepada saingan gangster yang beretnis China, bernama Lord John (Tom Wu). Dalam satu kesempatan, stok kokain dari Lord John digasak pula oleh Green cs. Lord John menuduh Macha yang merampoknya sehingga dia mengirimkan pembunuh untuk menghabisi Macha. Macha berhasil diselamatkan Sorter, bawahannya yang sangat piawai menggunakan pistol. Untuk itu, misi payback disiapkan dengan mengirimkan Sorter untuk menghabisi Lord John, misipun berhasil. Tetapi masalah baru muncul, Macha mulai ketakutan karena tidak bisa memenuhi permintaan Sam Gold. Ditambah dengan raibnya semua uang Macha karena didonasikan oleh Green ke panti asuhan, maka keadaan mulai berbalik dengan Green kini yang mengendalikan Macha, yang berujung ke Macha menembak dirinya sendiri karena frustrasi. Green menjadi pemenang dari serangkaian rencana berkat bantuan dua sahabatnya, Avi dan Zach yang ternyata merupakan "teman-teman" imajinernya semasa di penjara. Avi adalah si ahli catur dan Zach adalah si con-man.

Mulholland Drive-like
Well, itulah versi gw tentang Revolver. Film yang sangat telat gw apresiasi karena 20 menit pertama gw mengharapkan another-Snatch. Ternyata Ritchie mengemas dalam bentuk yang beda, dan berat dengan membuat cerita yang spin berat. Untuk membuat alur cerita yang gw tulis sebelumnya, tidak didapat dengan jalur cerita yang semulus itu. Seperti Mulholland Drive (David Lynch), yang tidak menjalankan cerita berdasarkan apa yang kita lihat. Dan juga seperti Usual Suspect dengan menghadirkan satu sudut pandang dalam cerita (diperkuat dengan narasi Jake Green). Banyak pro-kontra dalam mengapresiasi apakah ini film bagus atau film jelek. Saking spin-nya, sebelah gw berkomentar singkat: "...bajingan!". Entah karena bingung atau puas, tetapi apresiasi yang mungkin muncul memang dua hal tersebut. Satu sisi bisa merasa puas dan di sisi lain bisa saja merasa sangat "tanggung" dengan absennya penjelasan-penjelasan visi yang bisa menyatukan alur cerita dari sekian banyak audiens. Mungkin tujuannya adalah agar film ini ditonton lebih dari sekali, atau untuk menciptakan cult-movie seperti halnya Mulholland Dr. Meski demikian, secara sinematografi Ritchie masih merupakan sutradara kelas atas. Scene demi scene berhasil menunjukkan kapabilitas Ritchie yang muncul dalam Snatch, atau LS2SB. Adegan seperti kecelakaan mobil, atau ketika Sorter membunuh satu demi satu gangster di apartemen Billy adalah trademark Ritchie. Juga ketika dia membuat penyelesaian ala LS2SB antara kubu Macha dengan Lord John. Meski demikian gw ngga terlalu yakin apa maksud Ritchie menyelipkan animasi di film.

Satu hal yang diperdebatkan dari sinopsis gw di atas adalah apakah Avi dan Zach itu personal yang berdiri sendiri, atau bagian dari Jake Green. Banyak pendapat yang menyatakan Avi dan Zach itu sebagai personal yang berdiri sendiri, yang sungguh-sungguh merupakan tetangga Green di sel penjara, Avi si ahli catur dan Zach si con-man. Sementara pendapat gw bilang kalo Avi dan Zach adalah buah skizofrenia Jack Green seperti yang gw bilang di sinopsis. Banyak scene yang menjadikan "kehadiran" Avi dan Zach itu tidak eksis bagi orang selain Jake Green. Tetapi ada juga scene yang membuktikan eksistensi mereka berdua. So far, asumsi gw berdasar bahwa kedua orang tersbut merupakan perwujudan dari buku tentang catur dan tentang perhitungan-perhitungan (Matematika Quantum) yang menemani Green semasa di penjara. Zach adalah perwujudan dari analisa perhitungan. Green juga terbiasa dengan catur buta (inget kode-kode sepeti Kf5-h8, dan sebagainya?), dan actually itulah yang dia lakukan bersama karakter Avi ini. Kepercayaan Green pada masa dipenjara adalah, lawanlah lawan yang lebih baik, dan itu dalam asumsinya kemudian dia menciptakan karakter Avi sebagai ahli catur. Just my two cents!

Sementara gw belom menonton untuk yang kedua kalinya, hal itu masih belum gw pastiin bener. Film ini memang memberikan suatu teka-teki besar mengenai apakah maksud dari film ini. Dan secara umum, dengan menonton satu kali, perasaan gw masih campuraduk, antara terpesona melihat rangkaian sinematografi (Ritchie adalah sutradara sangat jago untuk film aksi), atau bingung mengikuti rangkaian cerita. Sampai pada satu kesimpulan sementara, begitulah pendapat gw tentang Revolver. Cobalah film ini untuk mendapatkan pengalaman berbeda tentang sebuah film.

posted by Helman Taofani at 9:41 PM 3 comments

Tuesday, January 03, 2006

2005 to 2006: From Fantasy to Humanity

Akhir tahun ini seolah menjadi lahan luar biasa bagi seribusatu fantasi. Rangkaian film-film yang merupakan visualisasi dari imajinasi dan fantasi hebat menyerbu layar-layar perak di seluruh dunia, dan menutup tahun dengan keceriaan.



Di awal November, rangkaian fantasi dimulai dengan imajinasi seorang perempuan berkebangsaan Inggris yang telah berhasil menancapkan diri sebagai ikon baru dalam dunia fantasi anak-anak dan remaja. JK Rowling menciptakan karakter Harry Potter sebagai karakter yang menggusur fantasi dongeng karya-karya HC Andersen pada masa lalu. Tokoh Potter yang berusia remaja (sampai dengan edisi terakhirnya) itu berasal dari lipatan dunia yang kita huni untuk menciptakan jagad sihir-nya yang imajinatif tersebut. Mitos-mitos lama mulai dari sapu terbang, tongkat penyihir, mantar-mantra serta ramuan menjadi bagian hidup sehari-hari dalam dunia sihir ciptaan Rowling. Begitu juga dengan gaya hidup yang menjadi satu formula tidak terpisahkan, untuk bagaimana mereka terbang dengan sapu, bermain permainan kombinasi antara cricket dan sepakbola ala dunia sihir yang diberi nama quidditch, serta pertarungan adu mantera dan tongkat seperti halnya si Sirik dan Juwita dari majalah Bobo pada jaman saya kecil.

Visualisasi dari imajinasi-imajinasi tersebut yang selalu menarik untuk disaksikan dari sebuah film Harry Potter. Di debut layar perak-nya, sutradara Christoper Columbus lumayan berhasil membuat debut yang menjadikan platform bagi film-film Potter sesudahnya. Yang paling kentara memang dari sisi casting dimana Daniel Radcliffe, aktor cilik (sekarang sudah beranjak remaja, tentunya) berhasil menyatukan imajinasi bagaimana seorang Harry Potter itu diwujudkan. Film-film selanjutnya kemudian "hanya" mendapati tantangan untuk merangkai halaman demi halaman dari naskah yang ditulis Rowling untuk dimampatkan dalam durasi film (sekitar 120 - 180 menit). Begitu juga dengan Mike Newell, sutradara film terbaru Harry Potter and the Goblet of Fire (seri keempat). Tantangannya tetap serupa, yaitu apakah akan setia dengan jalur film dengan resiko shortcut, atau membuat re-script dengan durasi yang lebih pendek. Chris Columbus memilih alternatif pertama, dan sutradara film ketiga, Alfonso Cuaron memilih alternatif kedua dengan relatif banyak pujian dari kritikus tapi kurang berkenan di hati fans.

Di film keempat ini, Mike Newell bisa dibilang melakukan re-script. Alur film yang dimulai dengan memotong banyak bagian film dengan langsung masuk ke adegan portal. Juga adegan-adegan yang banyak dimodifikasikan dari versi novel untuk mendapatkan durasi yang pas, tanpa harus kehilangan jalinan cerita. Seperti menghilangkan Dobby, peri rumah yang mempunyai lumayan banyak peran di novel, tapi di dalam film digantikan oleh rekan-rekan sekolah Harry Potter. Bagi fans setia novel, mungkin ini adalah kekurangan, tetapi saya lebih apresiatif dengan upaya Newell tersebut karena apa yang ditampilkan olehnya dalam film tetap bisa diikuti oleh penonton yang mungkin belum membaca novelnya. Film ini juga didukung oleh kinerja visual effect yang relatif membaik. Beberapa adegan, terutama dalam turnamen Quidditch dan juga lomba Tri-Wizard, efek sangat membantu visualisasi dan lumayan mampu menjadi hiburan ditengah kita mengikuti gejolak konflik antar-karakternya. Dalam beberapa hal, film Harry Potter kali ini memang lebih seru, terlepas dari unsur novelnya yang makin mengklimaks. Big congratz buat Mike Newell, meski jika dia kembali dipercaya membawa Harry Potter and the Order of Phoenix tentunya memerlukan beberapa perbaikan dalam mengatur kembali alur untuk tidak terlalu bumpy yang cenderung membuat sedikit membosankan.

Film fantasi kedua adalah imajinasi untuk cerita anak-anak yang dikarang oleh CS Lewis (sekali lagi dari Inggris). Lewis membuat kisah epik yang berjudul The Chronicles of Narnia dalam tujuh serial pendek. Kedekatannya dengan JRR Tolkien, pengarang epik-klasik Lord of the Rings, membuat Narnia sedikit dibanding-bandingkan dengan kisah dari dunia middle earth tersebut. Hal ini juga merembet ke filmnya, yang sebetulnya bagus untuk promosi, tetapi beresiko besar di apresiasi. Narnia (dalam hal ini adalah serial yang betajuk: The Lion, the Witch and the Wardrobe) sejak awal diproyeksikan untuk tampil sebagai film yang bakal dilirik setelah Peter Jackson membawa trilogi Lord of the Rings secara brilian beberapa tahun yang lalu. Sayangnya, kualitas cerita berkata lain. Tolkien membuat saga middle earth dalam rangkaian detail yang fantastis, sementara Narnia disiapkan sebagai kisah dongeng sebelum tidur untuk anak-anak. Makhluk-makhluk yang muncul dalam Narnia-pun tidak jauh dari makhluk yang familiar dengan kehidupan nyata. Meski diambil dari mitologi, tapi mitologi yang diambil oleh Lewis tetap saja mitologi populer, diantaranya munculnya centaur, griffon, dan juga karakter-karakter binatang yang juga muncul di The Winds Over Willows. Beda dengan Tolkien yang menggali dari mitologi klasik Finlandia sampai Keltik dengan memunculkan Valhalla-like realms, goblin dan sebagainya.

Imbasnya ke film, bukan kesalahan sutradara yang menjadikan film ini "sedikit" jatuh, tetapi ekspektasi yang berlebihan dari penonton. Film ini seharusnya bersaing dengan film-film fantasi anak-anak semacam Hooks yang menampilkan PeterPan dan Neverland-nya. Atau mungkin kisah-kisah dongeng lainnya. Film ini masih menjadi film yang bagus untuk keluarga, tanpa harus dibebani oleh visi produsen yang mengharapkan keuntungan seperti yang diraup Gandalf dkk. dalam trilogi epik Lord of the Rings, karya Peter Jackson. Karena sutradara yang sama tengah menyiapkan film fantasi selanjutnya, yang berasal dari proyek remake film serupa di tahun 1930-an. Di masa saya kecil, film ini menjadi fenomena tersendiri, tentang gorilla raksasa yang sangat posesif terhadap gadis kulit putih berambut pirang. Dulu saya yang pecinta binatang justru merasa jealous dengan kehadiran si gadis. Dan sekarang, dalam judul yang sama "King Kong", Peter Jackson akan mencoba menghadirkan kembali rangkaian nostalgia terhadap film klasik yang dikenal dari adegan fenomenal-nya, berupa KingKong bergelayut di Empire State Building.

Apa yang dihasilkan adalah film yang sangat entertaining. Mungkin karena guideline-nya hanyalah berasal dari script tua dari film di jaman sebelum kemerdekaan kita itu maka Peter Jackson bisa sepenuhnya berkreasi kembali dalam wujud visualisasi dunia KingKong. Dari setting kota New York yang kembali ke era depresi 30-an, kapal "Ventura Surabaya", dan tentunya pulau Tengkorak nan melegenda yang konon berada di sekitar episentrum gempa dahsyat yang melarutkan beberapa bagian Aceh. Hasilnya, selama hampir 3 jam kita disuguhi rangkaian visualisasi yang bagus dari sebuah film remake. Tak ada halangan yang mampu merintangi si raja gorilla untuk menunjukkan sifat posesifnya terhadap aktris kapiran bernama Ann Darrow, serta seorang penulis script yang terlibat sindrom "say it now or never", Jack Driscoll. Juga ditambah dengan sederet bintang pendukung yang berupa ciptaan teknologi efek visual berupa 3 ekor T-Rex, sekumpulan dinosaurus herbivora berleher panjang, Raptor, semacam Iguanodon, dan juga karakter eksentrik sutradara idealis yang diperankan rockstar anggota Tenacious D, Jack Black. Dengan sentuhan Jackson, film ini layak untuk ditandingkan dengan film Spiderman garapan Sam Raimi sebagai film yang menampilkan visualisasi extravaganza. Tidak ketinggalan tentunya adegan KingKong mengamuk di New York dan memanjat Empire State Building, serta menhadapi serbuan pesawat capung di peak gedung tertinggi dunia pasa tahun 30-an itu.



Sementara film terakhir tentang imajinasi yang dirilis di akhir tahun adalah mega-proyek FIFA berupa trilogi film Goal!. Di seri perdana-nya ini, diceritakan tentang keajaiban yang menaungi pemuda lugu asal Los Angeles (meski keluarganya berkewarganegaraan Mexico) bernama Santiago Munez. Jika seorang Kaka terpaksa menunggu nasib untuk diamati sampai satu musim dan terancam dipinjamkan ke tim lain untuk kemudian meroket bersama AC Milan, maka Munez bisa mendapatkan keajaiban untuk langsung berlaga bersama Alan Shearer di tim Newcastle United (serta menorehkan assist pula) dalam waktu sekitar 3 bulan saja. Jika seorang Thierry Henry mesti melalui masa yang buruk di Juventus untuk berkibar bersama Arsenal, maka apa yang diperlukan Munez adalah kisah tragis untuk mendapatkan simpati gaffer-nya untuk kemudian menjadi starter. Serba ajaib memang, tapi apa yang bisa kita lihat di sini adalah sisi yang mengangkat sepakbola sebagai olahraga paling akbar di muka bumi, yaitu passion. Gairah tinggi bisa divisualisasi dengan baik dalam film ini. Bagaimana kita melihat antusiasme penonton sepakbola dalam stadion, cafe dan sebagainya ketika tim kesayangan mereka bertanding. Dan bagaimana ekspresi yang kita rasakan ketika sebuah gol berhasil dicetak. Semuanya tidak bisa dijelaskan "bagaimana", dan cukup saya rasakan ketika Pelita Solo berhasil menghimpun 30 ribu warga Solo untuk berkoordinasi di bawah satu gairah dalam naungan stadion Manahan. Waktu itu saya berpikir "bagaimana", baik menjadi suporter, pemain atau siapa saja yang terlibat dalam energi besar tersebut. Dan hal-hal seperti itulah yang akan dituangkan FIFA dalam film Goal!, dimana rencana final trilogi tersebut diproyeksikan berakhir menjelang Piala Dunia di Jerman, Juni 2006 nanti.



Rangkaian film imajinatif di akhir tahun 2005 itu yang akan mengantarkan kita ke pola transisional untuk film-film yang "lebih berat". Di awal tahun 2006 ini ada drama-dokumenter yang diangkat dari tragedi Black September 1972 di olimpiade Munchen. Steven Spielberg, sutradara film berjudul Munich tersebut, bahkan sudah menghadapi kecaman ketika dia menempatkan proporsi yang seimbang dari sisi korban dan sisi teroris. Seperti halnya Ridley Scott yang dikecam ketika menempatkan pihak Nasrani dan Muslim sebagai sama-sama pemenang saga pearng salib. Film yang lebih satir dan berat akan menyambut tahun 2006 kita. Jangan lupakan juga adaptasi novel terbaik, Memoirs of Geisha, yang juga mendapat ribuan kecaman dari pelaku sejarah kelam Perang Dunia II di Jepang. Kemudian film tentang kerusuhan rasial berjudul Crash. Kasus pemukulan oknum polisi berkulit putih kepada seorang "residivis" berkulit hitam adalah puncak gunung es dari misteri rasialisme di negeri adidaya tersebut. Satu dekade silam lebih, dokumentasi mengenai keresahan rasial yang mengakibatkan segregasi pola permukiman di Amerika itu begitu menguat (bahkan diabadikan oleh band favorit saya, Pearl Jam, dalam lagu berjudul W.M.A). Kini filmnya siap menghadirkan rangkaian kisah dramatis-dokumenter ini dalam multi-sudut pandang pelakunya.

Dengan hal semacam ini, kita sebagai penikmat film tentu akan merasa sangat diuntungkan dengan perputaran hiburan berkelas untuk panca indera. Baik mengalami imajinasi yang divisualisasikan secara fantastis, atau cerita-cerita yang mengusik rasa kemanusiaan kita. Enjoy and happy new year!!

posted by Helman Taofani at 9:12 AM 0 comments

About Me

Name: Helman Taofani

View my complete profile

B R A N C H E S

    Home

    Architecture

    Books

    Movie

    Music

    Friendster Blog

M Y T O P L I S T

    Fight Club In the Name of the Father Snatch Memento Shawshank Redemption The Godfather Pulp Fiction Cidade de Deus Dead Man Walking Ocean's 11

    Fight Club | In the Name of the Father | Snatch | Memento | Shawshank Redemption | Godfather | Pulp Fiction | Cidade de Deus | Dead Man Walking | Ocean's 11

W I S H L I S T

    The Cooler Unfaithful Lost and Delirious Sex and Lucia 21 Grams Irreversible Mulholland Drive Original Sin Waking the Dead The Dreamers

    Guess what kind movies listed in my wishlist?! It could be summarized in a single theme or had any kind of similarity or share the same characteristic.

S H I T H O L E

U P D A T E S

  • The Tiger and the Snow
  • Much More Movies for April 2006
  • V for Vendetta
  • The Edukators
  • 11:14
  • Tim Burton's Corpse Bride
  • MirrorMask + Pelican Brief
  • The Constant Gardener
  • Green Street Hooligans
  • Movie Marathon 4 - 14 Februari 2006

M O N T H L Y

  • November 2005
  • January 2006
  • February 2006
  • March 2006
  • April 2006
  • September 2006
  • T H A N K S F O R V I S I T

      php hit counter

    Powered by Blogger